“
Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Dan
sertailah keburukan dengan kebaikan niscaya akan menutupinya. Dan
bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang yang terpuji”. (HR. At-Tirmidzi dari Mu’az bin Jabal ra.)
Dalam
Matan Arba’in
Imam an-Nawawi, (Hadits ke-35) mengutip nasehat Rasulullah SAW yang
menjelaskan bahwa ketakwaan itu bersumber dan bermuara di dalam hati
seseorang.
Maka jangan hasad, tipu menipu, benci membeci, jauh
menjauhi, menzhalimi dan menghina. Setiap muslim itu bersaudara,
sehingga haram darah, harta dan kehormatannya. (HR.Muslim).
Jangan
sombong, karena Allah tak suka kepada kesombongan walau hanya sebiji
sawi. (HR. Muslim). Allah SWT. tidak melihat seseorang dari tampilan
jasmaniyah dan rupa, tapi dari hati dan amal perbuatan. (HR. Muslim).
Tidak
patut menghina, mencari-cari kesalahan, menzalimi dan menghukumi orang
lain, meskipun secara lahiriyah ia berbuat kesalahan.
Jangan mengejek, menertawakan kekurangan dan menggunjing. Semua
manusia sama di hadapan Allah, kecuali karena ketakwaannya.
(QS.49:11-13).
Jangan pula karena kebencian, kita tidak adil,
menghina dan mengambil haknya. Adil dan baik dekat dengan ketakwaan
(QS.5:8, 16:90).
Syaikh Abdul Kadir al-Jailani (1077-1166 M),
seorang ulama dan sufi yang sangat terkenal khususnya di kalangan dunia
tasawuf dan pengamal tarekat pernah memberi petuah berharga.
Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam buku
Nashaihul ‘Ibad (Bab.
III. makalah ke-21) menukil enam petuah bijaksana dari guru para sufi
tersebut agar menjadikan setiap orang yang kita temui menjadi cermin
hidup yang baik untuk meningkatkan kualitas, moralitas dan integritas
diri.
Pertama, apabila engkau bertemu seseorang, katakanlah mungkin dia lebih baik dan lebih tinggi derajatnya di sisi Allah.
Pesan ini mendorong kita untuk tidak meremehkan seseorang meskipun
secara tampilan lahiriyah bahkan juga kelakuannya sepintas kurang
berkenan. Menghormati dan memuliakan orang lain adalah perbuatan terpuji. Setiap orang punya kekurangan juga kelebihan. Tidak boleh menilai seseorang dari kelemahannya. Mungkin, dia punya keutamaan yang kita tidak miliki.
Don’t judge the book by the cover (jangan nilai sebuah buku dari sampulnya).
Kedua,
apabila engkau bertemu dengan orang yang lebih kecil (muda), katakanlah
dia belum berbuat dosa kepada Allah, tentu dia lebih baik.
Bukankah seringkali orang tua
under estimate (menilai rendah) kepada anak-anak karena usianya yang muda ? Padahal,
ilmu dan kearifan tidak selalu melekat dengan usia yang tua. Orang yang
muda bisa lebih berilmu dan arif melihat sesuatu. Islam mengajarkan orang tua harus menyangi yang lebih muda. Justru, orang tua harus kagum dan mau belajar kepada yang muda.
Ketiga, apabila engkau bertemu dengan orang yang lebih tua, katakanlah dia telah banyak beribadah kepada Allah.
Sepatutnya orang yang lebih muda menghormati dan memuliakan orang
yang lebih tua. Bukan termasuk seorang muslim yang baik, jika yang muda
tidak menghormati yang tua. Pandangan kita bahwa orang tua
sudah lebih banyak kebaikan dan kontribusinya bagi umat, tentu membuat
kita hormat kepadanya dan berupaya untuk mengikuti langkahnya yang baik
itu.
Keempat, apabila engkau bertemu dengan orang yang berilmu (
alim),
katakanlah dia telah diberikan anugerah yang belum aku dapatkan,
mengatahui apa yang belum aku ketahui dan mengamalkan ilmunya.
Ilmu
mendapat tempat terhormat dalam Islam, sehingga orang berilmu diberikan
derajat yang mulia. (QS. 58:11). Orang yang muda akan dituakan
(dibesarkan) karena ilmunya. Sementara orang tua akan dikecilkan karena
tidak berilmu. Jangan cari-cari kesalahan dan kekurangannya
untuk menjadi alasan tidak perlu belajar kepadanya. Ikuti yang baik dan
tinggal yang buruk darinya.
Kelima, apabila engkau bertemu
dengan orang bodoh, katakanlah dia durhaka kepada Allah karena
kebodohannya, sementara aku berbuat dosa dengan pengetahuanku.
Memang,
paling mudah kita memerehkan orang bodoh, tidak sekolah dan tidak
terpelajar. Sementara kita yang berpendidikan tinggi seakan paling
terhormat dan patut dihormati. Bukankah tindakan buruk yang merugikan orang banyak justru dilakukan oleh orang berilmu (
white crime)? Korupsi dan kemaksiatan sosial dan politik dilakukan oleh orang terpelajar.
Keenam,
apabila engkau bertemu dengan orang kafir (kufur), katakanlah, mungkin
juga aku bisa kafir sehingga berakhir dengan amal yang jelek. Nilai
dari sebuah amal diukur dari akhirnya.
Orang saleh belum tentu
berakhir dengan kesalehan. Begitu pun orang durhaka (ahli maksiat) belum
tentu berakhir dalam kemaksiatan. Kita diajarkan untuk meminta diberi ujung hidup yang baik (
husnul khatimah) dan dijauhkan dari akhir hidup yang buruk (
suul khatimah).
Imam Bukhari meriwayatkan : “
al-mukminu mir’atul mu’min”
(seorang mukmin itu cermin bagi mukmin yang lain). Meskipun, kita
seringkali tidak pandai berkaca dari kehadiran seseorang. Merasa orang
baik itu tidak baik. Tentu, lebih baik merasa belum baik.
Pada
akhirnya, kita tidak pernah tahu ujung dari perjalanan hidup ini. Apakah
ketika ajal tiba, hidup berakhir dalam kebaikan atau keburukan ? Itu
rahasia Ilahi.
Merasa paling benar dan baik adalah
kesombongan. Kesombongan adalah dosa awal makhluk (Iblis) dan mengikuti
rayuannya adalah dosa pertama manusia (Nabi Adam as.), serta iri hati
(hasad) menjadi awal pertumpahan darah manusia pertama di muka bumi
(Qabil dan Habil).
Wallahu a'lam.
(Oleh :Ustadz Hasan Basri Tanjung MA)