Muhasabah berasal dari akar kata hasiba yahsabu hisab, artinya secara etimologis melakukan perhitungan. Dalam terminologi syari, muhasabah adalah sebuah upaya evaluasi diri terhadap kebaikan dan keburukan dalam semua aspeknya.
Baik bersifat vertikal, hubungan dengan Allah, maupun horisontal, hubungan dengan sesama manusia. Ia merupakan salah satu sarana yang dapat mengantarkan manusia mencapai tingkat kesempurnaan sebagai hamba Allah SWT.
Urgensi muhasabah terlihat dalam empat hal berikut. Pertama, muhasabah merupakan perintah Allah, sebagaimana firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ” (QS Al Hasyr [59]: 18).
Sedangkan, melanggar perintah Allah jelas akan membawa petaka. Menurut Imam Ibnu Katsir, makna ayat ini adalah “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Dan lihatlah amal-amal saleh yang telah kalian tabung untuk diri kalian pada hari kembali kalian dan pertemuan kalian dengan Rabb kalian ..” (Tafsir Ibnu Katsir V/69).
Sebelumnya, Umar bin Khathab pernah berkata, “ Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab dan timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang karena lebih mudah bagi kalian menghisab diri kalian hari ini daripada besok (hari kiamat). Dan bersiaplah untuk menghadapi pertemuan terbesar. Ketika itu, kalian diperlihatkan dan tidak ada sesuatu pun pada kalian yang tersembunyi.” (Az Zuhd, Ahmad bin Hambal, h. 177)
Kedua, muhasabah termasuk Qadhaaya Imaniyah, diskursus keimanan. Artinya, barometer keimanan seorang mukmin sangat ditentukan oleh sejauh mana ia menerapkan muhasabah dalam kehidupannya. Untuk itu, perintah muhasabah dalam ayat di atas diawali dengan seruan mesra pada orang-orang beriman, Ya ayyuhalladziina aamanuu. Maka, keimanan tanpa muhasabah adalah hampa, bahkan dapat berbuah nestapa.
Ketiga, muhasabah adalah karakter orang bertakwa. Hal ini terlihat jelas ketika perintah muhasabah pada ayat tadi diapit oleh dua kali perintah takwa, “Bertakwalah kepada Allah. ” Berarti, mustahil seseorang sampai pada derajat takwa ketika tidak pernah mengiringi kehidupannya dengan muhasabah. Padahal, surga disiapkan Allah SWT hanya bagi orang-orang yang bertakwa (QS Ali Imran [3]: 133).
Seorang dari generasi tabiin, Maimun bin Mihran (wafat 117 H), mengatakan, “Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisab pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya.”
Keempat, muhasabah adalah kunci sukses kehidupan manusia unggul, seperti generasi terbaik umat ini, para sahabat. Sejarah mencatat, kehidupan mereka tidak pernah sepi dari muhasabah. Padahal, mereka orang yang ahli ibadah, jihad, aktif melakukan kebaikan dan perbaikan. Meskipun demikian, mereka tetap merasa takut. Jangan-jangan amal mereka tidak diterima oleh Allah SWT.
Abu Bakar Ash Shiddiq misalnya, pernah memegang lidahnya sambil mengatakan, “Lidah inilah yang menjerumuskan saya ke dalam banyak lobang (kesalahan).” Beliau sering menangis dan pernah berkata, “Demi Allah, sungguh saya berharap bisa menjadi pohon yang dimakan dan dilumat tanpa diminta pertanggungjawaban."
Umar bin Khathab saking seringnya menangis, sampai terlihat di wajahnya dua goresan hitam bekas tangisan. Diriwayatkan pula, beliau memukul kedua kakinya dengan cemeti apabila malam telah larut seraya berkata, “Apa yang telah kamu perbuat hari ini?”
Selain itu, Utsman bin Affan setiap kali berhenti di kuburan selalu menangis sampai air matanya membasahi jenggotnya. Beliau berkata, “Seandainya aku ada di antara surga dan neraka, tidak tahu aku diperintahkan masuk ke mana, niscaya aku akan memilih untuk menjadi abu saja sebelum aku tahu ke mana aku ditempatkan!”
Begitu pula dengan Ali bin Abi Thalib, beliau dikenal banyak menangis dan takut serta rajin muhasabah.
(Oleh: Ahmad Kusyairi Suhail)