“Tidak ada kebaikan dari kebanyakan obrolan (bisikan) mereka kecuali pembicaraan orang yang menyuruh bersedekah, berbuat kebaikan, atau berdamai antarsesama. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari ridha Allah, kelak Kami memberinya pahala yang besar.” (QS 4: 114).
Menjaga lisan dari pembicaraan yang sia-sia sangat ditekankan dalam agama. Banyak ayat Alquran maupun hadis yang memerintahkan demikian. Dengan redaksi yang berbeda-beda, kedua rujukan tersebut mewanti-wanti kita agar hati-hati dalam berbicara.
Lisan menjadi kunci keselamatan sekaligus sumber malapetaka. Orang yang menjaga lisannya dengan berkata jujur, bertutur santun, serta hanya berbicara kebaikan akan selamat di dunia maupun di akhirat kelak.
Sebaliknya, lisan yang berkata kotor cenderung menyudutkan, merendahkan, menghina, apalagi memfitnah, dan mengadu domba akan mencelakakan.
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Setiap ucapan Bani Adam membahayakan dirinya, kecuali kata-kata berupa amar makruf dan nahi mungkar serta berzikir kepada Allah.” (HR Turmuzi). Hadis ini menunjukkan rentannya penggunaan lisan oleh seseorang.
Ibarat pedang bermata dua, lisan bisa menyelamatkan sekaligus membahayakan. Dalam kamus keseharian, sering kali kita mendengar pepatah mulutmu harimaumu.
Hal serupa juga ditemukan dalam pepatah Arab yang memiliki arti keselamatan manusia tergantung pada pemeliharaan lisan. Pepatah tersebut secara substansial sejurus dengan hadis Nabi di atas. Yakni, lisan selalu menjadi awal yang menentukan nasib manusia.
Lidah tidak bertulang, begitu kata para jenaka yang diabadikan dalam sebuah lagu. Bentuknya elastis, lentur, mudah digerakkan, menjulur ke mana saja yang dikehendaki. Namun, setiap kata yang dikeluarkan punya dampak sangat besar.
Tak ada sesuatu yang lebih tajam dari kata-kata. Begitu juga belum ada yang mampu menandingi kelembutannya. Bahkan, hal ihwal paling suci, seperti Alquran dan kitab lainnya, pertama kali disalurkan lewat lisan.
Manfaat dan bahaya lisan tidak hanya berlaku bagi si empunya. Terhadap orang lain dan lingkungan sekitar juga sama. Begitu banyak orang yang hidupnya hancur akibat ocehan lisan saudaranya.
Ocehan yang berisi fitnah, tuduhan keji, atau makian sumbing tanpa dasar yang dibenarkan. Tiba-tiba dalam waktu sekejap, yang awalnya dipuji kemudian dimaki, awalnya dipuja lalu dihina, awalnya dihormat lantas dilaknat.
Tentu saja, orang yang berbuat demikian kadar keimanannya compang-camping. Nabi bersabda, “Tidak akan lurus iman seorang hamba sebelum lurus hatinya dan tidak akan lurus hati seorang hamba sebelum lurus lisannya.” (HR Ahmad).
Bahkan, pada taraf tertentu, orang itu tidak dapat dikatakan beriman. Rasulullah bersabda, “Yang disebut Muslim adalah orang yang lisan dan perbuatan tangannya membuat orang lain aman dan selamat.” (HR Muslim).
Karena itu, sejatinya sebagai seorang Muslim, kita harus menjaga perkataan. Sebisa mungkin kita menghindar dari perkataan yang tidak perlu. Kebiasaan menggosip, melebih-lebihkan pembicaraan, dan membumbui berita dari katanya ke katanya.
Lebih tegas lagi, Rasulullah bersabda, “Bukanlah seorang mukmin orang yang kata-katanya kotor, kasar, menusuk, dan melaknat.” Jika yang dilaknat adalah perbuatan dosa, biarlah Tuhan yang melakukan-Nya.
Sebab, sebagai seorang hamba, belum tentu kita lebih suci daripada orang yang kita maki, lebih mulia daripada yang kita hina. Akhirnya, akan lebih bermakna kalau kita renungi perkataan Malik bin Anas dalam menyikapi perbuatan dosa orang lain.
Ia berkata, “Jangan memandang dosa-dosa orang seolah kamu adalah Tuhan, perhatikanlah dosa-dosamu sebagai seorang hamba. Kasihanilah mereka yang terkena musibah (cobaan) dan bersyukurlah kamu yang selamat.”
(Oleh:
Veri Muhlis Arifuzzaman)