Hidup manusia tidak pernah lepas dari takdir Allah. Namun, takdir
sering disalah-pahami dan dimaknai sebagai suratan nasib baik maupun
buruk. Padahal, takdir merupakan sistem manajemen Ilahiyah yang
dirancang sedemikian rupa oleh Allah untuk semua makhluk-Nya di alam
raya ini.
Desain Allah itu terkait erat dengan hukum kausalitas
(sebab-akibat) dan proses alamiah tertentu. Karena itu, manusia wajib
meyakini adanya takdir dalam arti ukuran, kadar, kekuatan, dan ketentuan
tertentu yang berlaku bagi makhluk-Nya.
Kata takdir dalam berbagai bentuknya digunakan Alqur’an tidak kurang 132 kali. “
Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia pula yang menentukan ukuran/tingkatannya dengan sebaik-baiknya..” (QS al-Furqan [25]: 2).
Para
makhluk, termasuk manusia, tidak dapat melampaui batas takdir, dan
Allah SWT menuntun mereka ke arah yang seharusnya mereka tuju. “
Sucikanlah
nama Tuhanmu yang Mahatinggi, yang menciptakan (semua makhluk) dan
menyempurnakannya, yang memberi takdir kemudian mengarahkannya.” (QS al-A’la [87]: 1-3).
Benda-benda langit (planet), misalnya, beredar sesuai dengan garis edar secara tertib dan konstan. “
Dan
matahari beredar menurut sumbu edarnya. Yang demikian itu adalah karena
takdir (ketentuan) dari Allah yang Mahaperkasa lagi Mahamengetahui.
Begitu juga bulan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah
(posisi), sehingga setelah sampai kepada manzilah yang terakhir
kembalilah dia seperti bentuk tandan yang tua.” (QS Yasin [36]: 38-39).
Takdir
Allah SWT kepada semua makhluk-Nya pada dasarnya dapat dipelajari
melalui pengamatan qadar yang ada pada setiap makhluk.
Oleh
karena itu, salah satu tugas kekhalifahan manusia di alam raya ini
adalah menemukan hukum kausalitas atau memahami proses terjadinya
sesuatu yang berjalan dengan sistem Ilahiyyah yang rutin, objektif, dan
konstan atau tidak ada perubahan dari masa ke masa.
Dengan
demikian, takdir Allah pada makhluk-Nya menuntut manusia untuk selalu
mengamati, menyelidiki, meneliti, dan menundukkan hukum-hukum kausalitas
itu demi kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia.
Di antara
benda cair ciptaan Allah adalah air. Ia cenderung mencari dan mengalir
ke tempat yang lebih rendah. Air dapat meresap ke dalam tanah, dan dapat
ditahan oleh akar-akar pepohonan.
Aliran air dalam debit
tertentu akan menghasilkan energi. Semakin besar volume air yang
mengalir semakin besar pula energi yang ditimbulkan. Air yang mengalir
dari perbukitan (gunung) yang gundul akan dapat menimbulkan banjir
bandang dan tanah longsor.
Air yang dikelola dalam bendungan,
dapat dialirkan dan digunakan untuk menggerakkan turbin pembangkit
listrik. Semua itu adalah takdir Allah terhadap air.
Jika manusia dapat memahami 'perilaku air' dengan segala hukum kausalitasnya, niscaya air akan menjadi bermanfaat dan berkah.
Sebaliknya, jika manusia tidak dapat memahaminya, air justeru akan
dapat menimbulkan musibah seperti: banjir bandang, tanah longsor, dan
sebagainya.
Suatu ketika Umar bin al-Khattab berniat
mengunjungi negeri Syam (sekarang: Suriah, Palestina, Lebanon, dan
Yordania). Karena di Syam sedang berjangkit wabah penyakit yang
berbahaya, ia membatalkan rencananya.
Pada saat itu, ada seorang
sahabat bertanya: “Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Allah?” Umar
ra. menjawab: “Aku menghindar dari takdir Allah ke takdir-Nya yang
lain”.
Berjangkitnya penyakit, banjir, dan aneka bencana lainnya
terjadi karena adanya hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah.
Setiap Muslim wajib berusaha untuk memilah dan memilih takdirnya
sendiri-sendiri.
Manusia dapat menghindar dari satu takdir ke
takdir yang lain melalui usaha serius dalam menemukan “penangkal takdir”
yang tidak kita harapkan terjadi.
Kalau tidak ingin terjadi
banjir, maka penanaman pohon harus digalakkan, penebangan pohon secara
liar dan membabi buta (illegal logging) harus dihentikan, saluran air
(drainase) dan sungai-sungai harus dibuat lancar dengan tidak membuang
sampah dan limbah ke dalamnya.
Setiap Muslim wajib percaya
kepada takdir Allah dan memilih yang terbaik darinya dalam rangka
mewujudkan perubahan sosial yang konstruktif: “
Allah tidak akan merubah apa yang terjadi pada suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang melakukan perubahan…” (QS al-Ra’d [13]: 11).
Mengimani
takdir mengharuskan setiap Muslim untuk selalu menyeimbangkan antara
pikir dan zikir, antara iman, ilmu, dan amal, usaha dan doa, sehingga
mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan di muka bumi Indonesia
tercinta ini.
(Oleh : Muhbib Abdul Wahab)