“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. 63:11)
Pada dasarnya, manusia seringkali lari dari kematian. Berbagai cara dan upaya pun dilakukan agar terhindar darinya. Namun, kematian pasti datang kepada setiap orang, dan tidak bisa lari atau bersembunyi.
Hampir setiap hari kita dengar kabar kematian atau melihat kecelekaan yang berakibat kematian, atau dengan cara bagaimana pun. Sebagian orang yang kita cintai juga sudah melaluinya. Namun, kita tetap takut menghadapinya.
Sebenarnya, kita tidak perlu takut, karena kematian pasti terjadi. Meskipun ada pula orang yang berani mati atau mencari-cari jalan kematian.
Orang hebat itu bukan berani mati tapi berani hidup. Karena hidup itu kemungkinan dan mati adalah kepastian.
Pesan Nabi SAW. agar kita banyak ingat kematian dan mempersiapkan diri menghadapinya (aktsaruhum dzikral lilmawti wa asyadduhum isti’dadan lahu), (HR. Ibnu Majah). Begitu pun tutur Beliau : “Kafaa bilmawti waa’idzan”, (cukuplah kematian itu sebagai nasehat), (HR. Tabrani).
Kenapa kita takut kematian? Paling tidak disebabkan oleh tiga hal, yakni : Pertama ; berat berpisah dengan dunia. Kedua ; kurangnya bekal yang akan dibawa. Ketiga, ketidakahuan akan keadaan hidup kelak di akhirat.
Menurut Prof Dr Komaruddin Hidayat, dalam bukunya Psikologi Kematian, mayoritas responden yang ditanya tentang hal ini menjawab yang pertama, yakni merasa berat berpisah dari dunia (hubbud dunya), bukan karena takut siksa neraka.
Berat meninggalkan anak, istri, orang tua, harta, rumah, kesenangan dan lain-lain. Kita merasa sayang meningggalkan dunia, apalagi belum tentu di akhirat dapat kenikmatan seperti di dunia. Padahal, di akhirat itu hidup yang kekal dan penuh kenikmatan..
Dalam Kitab Hadits Matan Arba’in, Imam An-Nawawi menukilkan sebuah Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Nabi SAW. bersabda ketika Malaikat meniupkan ruh kepada janin manusia (120 hari), ditetapkan baginya empat perkara : (1), ditentukan rezkinya, (2), ajalnya (umur), (3), amalnya (perkejaannya), (4), celaka atau bahagia”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Semua itu adalah rahasia ilahi yang tidak diketahui oleh manusia. Kewajiban kita adalah ikhtiar maksimal dan berdoa sungguh-sungguh. Hidup ini bagai lampu dinding. Lampu dinding (manusia) yang diisi minyak (umur).
Sudah ditentukan kadar minyak bagi setiap lampu sesuai dengan ukurannya. Begitu ia dihidupkan (manusia lahir), itulah awal dimulainya hidup di dunia, dan minyak pun akan berkurang sedikit demi sedkit, ada pula yang pecah, terjatuh, dan sebagainya sebagai penyebab matinya lampu itu.
Bila minyak sudah kering, ia pun akan padam sendiri. Meskipun ada yang ingin diberi umur 1000 tahun, padahal belum tentu bernilai dan berkah.
Kehidupan kita di dunia ini akan berakhir. Termasuk dunia ini pun hancur lebur kecuali Zat Allah yang Maha Kekal. Semua akan berakhir seiring dengan bergulirnya waktu.
Bayi dalam kandungan akan lahir. Ia akan tumbuh menjadi balita, remaja, dewasa dan tua sesuai waktu (umur) yang diberikan. Ada pula yang panjang umurnya hingga uzur, seperti kanak-kanak lagi.
Semua akan berakhir dengan kematian. Namun tidak diketahui di mana, kapan dan bagaimana. Karena itu tidak penting. Sebab, yang penting adalah dalam keadaan bagaiamana kita dipanggil Ilahi.
Kematian bukanlah akhir kehidupan, tapi awal bagi kehidupan berikutnya yakni alam kubur (barzakh). Alam akhirat adalah kehidupan yang memberikan balasan bagi setiap amal perbuatan manusia selama hidupnya di dunia.
Kebaikan akan berbalas kebaikan (surga). Keburukan pun akan berbalas keburukan (neraka). Kelak, tidak akan ada lagi kezaliman (aniaya) dan ketidakadilan.
Setiap orang mendapatkan sesuai dengan usahanya. Orang-orang baik dalam kenikmatan dan orang-orang berdosa dalam siksaan neraka.
“Ad-Dunya mazro’atul aakhirah” (dunia ini tempat menanam untuk hidup akhirat). Dunia ini lahan sekaligus ujian untuk melakukan amal yang terbaik.
Namun ada manusia yang hanya ingin meraih kesuksesan dunia semata dan ada pula yang hendak meraih keduanya.
Jika demikian, apa yang ditanam di dunia ini, itu pula yang dipetik di akhirat. Pepatah Arab mengatakan : “man yazro’ yahsud” (siapa yang menanam ia kan memanen).
Wallahu a'lam.
(Oleh:
Ustaz Hasan Basri Tanjung, MA)