Pada suatu hari Khalid bin al-Walid, Bilal bin Rabah, Abu Dzarr al-Ghifari, dan Abdurrahman bin 'Auf berdiskusi mengenai strategi perang.
Diskusi yang tidak dihadiri Nabi Muhammad SAW ini meruncing, karena masing-masing tidak dapat mengendalikan diri, saling emosi dan ngotot mempertahankan pendapatnya. Usulan Abu Dzarr dinilai salah oleh Bilal.
Abu Dzarr tidak terima dan menyatakan: "Hai Negro, engkau telah berani menyalahkan pendapatku!". Bilal pun marah dan bersumpah akan mengadukan penghinaan Abu Dzarr itu kepada Nabi SAW.
Bilal kemudian meninggalkan tempat menuju rumah Nabi SAW. “Wahai Rasulullah, aku baru saja menerima perlakuan diskrimitif dari Abu Dzarr. Aku dibilang negro,” tutur Bilal kepada Nabi SAW. Seketika wajah Nabi SAW tampak memerah mendengar pengaduan itu.
Berita pengaduan ini pun akhirnya sampai kepada Abu Dzarr, sehingga ia bergegas menemui Nabi SAW di masjid Nabawi. "Wahai Abu Dzarr, engkau telah melakukan diskriminasi dengan menghina ibunya (Bilal). Sungguh dalam dirimu masih tertanam sifat jahiliyah," kata Nabi kepadanya.
Mendengar nasehat Nabi SAW tersebut Abu Dzarr menangis, dan memohon kepada Nabi SAW agar memintakan ampun kepada Allah SWT. Ia menyesali tindakan diskriminatifnya. Ia berjanji di hadapan Nabi SAW untuk tidak mengulanginya, dan segera memohon maaf kepada Bilal.
Setelah itu, Abu Dzarr keluar dari masjid menemui Bilal sambil merangkak menempelkan pipinya di tanah. "Wahai Bilal, aku tidak akan mengangkat pipiku sebelum aku mencium kakimu. Engkau sungguh mulia, akulah orang yang terhina," seru Abu Dzarr sambil sesunggukan.
Melihat sikap penyesalan Abu Dzarr, Bilal pun menitikkan air mata, lalu mengulurkan tangannya kepada tangan Abu Dzarr agar berdiri. Keduanya kemudian berpelukan dan saling menangis: menyesali apa yang telah terjadi.
Kisah tersebut sarat dengan pesan moral mengenai pentingnya manajemen pengendalian diri, terutama berinteraksi dengan sesama dan dalam situasi penuh perbedaan pendapat.
Sebab, jika tidak dikelola dan dikendalikan dengan baik, seseorang akan mudah marah. Marah yang berlebihan dapat menyebabkan kehilangan akal sehat dan cenderung bertindak bodoh: menghina, diskriminasi, caci maki, anarki, dan sebagainya.
Karena itu, ketika ada seseorang menemui dan meminta wasiatnya, Nabi SAW menyatakan: "Janganlah engkau marah". Orang itu mengulangi lagi permintaannya sampai beberapa kali, Nabi SAW tetap menjawab sama: "Jangan marah!" (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Ketidakmampuan mengendalikan diri berupa kemarahan itu ibarat bara api yang menyala dalam hati. Jika tidak dipadamkan, maka bara itu akan membakar dan menjerumuskan orang yang marah itu dalam kenistaan dan kehinaan.
Manajemen pengendalian diri dapat diaktualisasikan dengan beberapa tuntutan Nabi SAW berikut. Pertama, ketika mulai emosi dalam menghadapi suatu masalah atau kondisi, ucapkanlah a'udzu billahi minasy syaithanir rajim (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).
Kedua, sabda Nabi SAW: "Apabila salah seorang di antara kamu marah, segeralah berwudhu karena marah itu ibarat api." (HR Abu Daud). "Marah itu karena setan, sedangkan setan itu diciptakan dari api. Api hanya bisa dipadamkan dengan air. Karena itu, jika engkau marah, berwudhulah." (HR Abu Daud).
Ketiga, menurut riwayat Abu Hurairah, jika Nabi SAW marah dalam posisi berdiri, beliau lalu duduk. Ketika marah dalam posisi duduk, beliau kemudian berbaring, maka hilanglah marahnya." (HR. Ahmad dan at-Turmudzi).
Keempat, seperti dilakukan oleh Abu Dzarr, segerahlah beristighfar kepada Allah dan memohon maaf kepada yang dimarahi atau dihina, agar bara emosi itu padam, dan pengendalian diri menjadi lebih stabil, tenang, dan menjadi pribadi yang menyenangkan.
Kelima, pembiasaan puasa sunnah untuk lebih dapat mengendalikan diri, menstabilkan emosi, dan meredam gejolak nafsu amarah yang berlebihan. Karena puasa merupakan salah satu solusi pengendalian diri yang paling efektif.
Wallahu a'lam.
(Oleh:
Muhbib Abdul Wahab)