Menyaksikan kedua telapak kaki Rasulullah pecah-pecah akibat terlalu
lama melakukan shalat malam, Aisyah bertanya,
“Kenapa engkau melakukan
yang demikian, Wahai Rasulullah, padahal Allah sudah mengampuni segala
dosamu yang telah lampau dan akan datang?” Beliau menjawab, “Tidak
pantaskah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur.” (HR Bukhari dan
Muslim).Hadis ini cukup populer. Rasulullah SAW (571-632 M)
gamblang menegaskan tentang pentingnya bersyukur. Tentu bersyukur
merupakan kewajiban bagi kaum beriman. Mari renungkan sejenak nikmat
Allah yang selama ini kita terima. Tidak usah seluruhnya. Cukup nikmat
buang angin saja. Seorang teman harus menghabiskan uang jutaan rupiah
untuk biaya operasi hanya gara-gara tiga hari tidak bisa buang angin.
Itu
baru soal buang angin. Padahal sepanjang hidup ini, jutaan aktivitas
lain harus kita tunaikan. Semua itu ternyata tidak dipungut harga alias
gratis. Sebab itu, Allah hanya memberikan kita dua pilihan. Jika tidak
mau bersyukur, berarti kita kufur. Tidak ada pilihan ketiga.
“Sungguh
Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus, ada yang bersyukur
dan ada pula yang kufur.” (QS Al-Insan: 3).Betapa bodohnya kita
apabila lebih memilih kufur ketimbang bersyukur. Pasalnya, Allah
menjanjikan bertambahnya nikmat bagi mereka yang bersyukur dan
menimpakan laknat bagi mereka yang kufur. Berulang kali ayat Al-Qur’an
membeberkan kisah-kisah kaum dahulu yang dibinasakan Allah akibat mereka
enggan bersyukur. Simak beberapa cuplikan kisah berikut.
Kaum
Nabi Nuh (3993-3043 SM) disapu banjir super dahsyat.
“Maka Kami bukakan
pintu-pintu langit dengan menurunkan air yang tercurah. Dan Kami jadikan
bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk
suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas
bahtera yang terbuat dari papan dan paku.” (QS Al-Qamar: 11-13).Sejarawan
memang berbeda pendapat, apakah bencana besar itu melanda seluruh dunia
atau hanya terjadi pada wilayah tempat Nabi Nuh diutus. Yang jelas,
semua sepakat bahwa banjir mengerikan itu datang akibat kaum Nabi Nuh
selalu ingkar kepada Allah. Betapa tidak, lebih kurang 950 tahun Nabi
Nuh berdakwah, tetapi pengikutnya hanya tujuh puluh orang dan delapan
anggota keluarganya.
Kekufuran dan pembangkangan serupa juga
dilakukan kaum Ad. Kaum Nabi Hud (2450-2320 SM) ini terkenal memiliki
jasmani yang kuat. Berkat karunia Allah, kaum Ad hidup berselimut
kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Peradaban mereka juga sangat
maju. Tetapi mereka kufur dan angkuh, selalu menolak kebenaran, yang
risikonya harus mereka bayar dengan sangat mahal.
Allah
meniupkan badai topan diiringi gemuruh suara yang menggelegar. Hanya
dalam hitungan hari, riwayat mereka tamat dengan sangat menyedihkan.
“Allah menimpakan angin kepada mereka selama tujuh malam dan delapan
hari secara terus menerus, maka kamu lihat kaum Ad pada waktu itu mati
bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah lapuk.”
(QS Al-Haqqah: 7).Tidak kalah mengerikan lagi adalah azab yang
diterima kaum Tsamud. Kaum yang tinggal di dataran Al-Hijir yang
terletak di antara Hijaz dan Syam ini hidup dengan segala kemewahan dan
kemakmuran sebagai warisan dari kaum Ad. Kaum Tsamud juga dikenal
sebagai arsitektur dan entrepreneur ulung. Awal Juli 2008 lalu, UNESCO
mengesahkan Madain Saleh, kota peninggalan mereka di 440 km arah utara
Madinah itu, sebagai salah satu situs warisan dunia (World Heritage
Site).
Sungguh sayang, mereka ingkar dan menentang dakwah Nabi
Saleh (2150-2080 SM). Mereka bahkan berani membunuh unta betina yang
merupakan mukjizat Nabi dan Rasul kelima itu. Hasilnya, mereka dihantam
guntur dan gempa hebat.
“Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa
orang-orang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumah mereka,
seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sungguh
kaum Tsamud itu mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi
kaum Tsamud.” (QS Hud: 67-68).Tidak kalah tenar tentu kisah
Fir’aun. Fir’aun adalah gelar untuk raja-raja Mesir purbakala. Menurut
Al-Qur’an, terdapat dua gelar bagi raja Mesir kala itu: Fir’aun dan
Malik. Fir’aun adalah gelar untuk raja Mesir zaman Nabi Musa (1527-1407
SM), sementara Malik adalah gelar raja Mesir zaman Nabi Yusuf (1745-1635
SM). Penelitian sejarah membuktikan, Fir’aun yang sangat memusuhi Nabi
Musa adalah Minephtah (1232-1224 SM), putra Ramses II. Adapun Ramses II
yang memerintah selama 68 tahun pada 1304-1237 SM itu adalah raja yang
baik.
Fir’aun Minephtah dianugerahi kekuatan dan kekuasaan luar
biasa. Tidak hanya kaya, dia bahkan tidak pernah sakit seumur hidup.
Tetapi, jangankan bersyukur, Fir’aun Minephtah malah sangat sombong dan
arogan, bahkan mengaku sebagai Tuhan. Tragis, Fir’aun Minephtah dan
kroni-kroninya akhirnya dibenamkan Allah di dasar Laut Merah. Setelah
ribuan tahun terkubur di laut, muminya ditemukan pada 1898 M oleh Loret
di Thebes, di daerah Wadi Al-Muluk (lembah raja-raja). Kini, mumi
Fir’aun Minephtah diawetkan di museum Mesir.
Jika mengacu
isyarat Al-Qur’an, Allah memang sengaja menyelamatkan jasad Fir’aun
Minephtah agar dapat menjadi pelajaran bagi manusia.
“Maka pada hari ini
Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang datang sesudahmu dan sungguh kebanyakan manusia lengah
dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (QS Yunus: 92). Masih banyak
kisah-kisah kebinasaan kaum kufur nikmat dan penentang kebenaran yang
dituturkan Allah dalam Al-Qur’an. Cukuplah beberapa penggalan kisah di
atas sebagai bahan renungan. Sebagai kaum beriman, sepatutnya kita terus
memanjatkan doa yang diajarkan Rasulullah, sebagaimana dikutip dalam
riwayat Abu Dawud, “Wahai Tuhanku, bantulah aku untuk dapat senantiasa
mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.”
(Oleh :
M Husnaini)