Ramadhan baru saja kita lalui. Tentu kita berharap agar di
tahun-tahun mendatang kita masih diberikan oleh Allah SWT kesempatan
untuk bertemu Ramadhan kembali. Spirit apakah yang seharusnya kita
warisi dan lestarikan pascaramadhan?
Sebagai sebuah madrasah,
pendidikan Ramadhan idealnya menjadi momentum paling berharga untuk
melakukan perubahan mental spiritual dalam rangka meningkatkan kualitas
hidup kita ke depan, sekaligus memperkuat hubungan dan kedekatan kita
dengan Allah SWT, sehingga kita betul-betul bisa meraih ampunan dan
rahmat-Nya sekaligus tergolong orang-orang
bejo (
al-faizun).
Ramadhan
menghadirkan nuansa spiritual yang sangat mendalam, bahwa Allah SWT
selalu hadir bersama kita. Kita juga merasakan sekali kedekatan
spiritual kita dengan Allah.
Karena itu, spirit Ramadhan yang
menghadirkan suasana dan sinyal religiusitas yang kuat ini patut
dipertahankan, bahkan ditingkatkan, misalnya dengan melanjutkan puasa
sunnah enam hari di bulan Syawal.
Ramadhan sejatinya merupakan
bulan kebahagiaan. Setidaknya kita perlu mewarisi dan melestarikan lima
spirit kebahagiaan bersama Ramadhan.
Pertama, kebahagiaan fisikal,
berupa kegembiraan dan kenikmataan yang luar biasa saat berbuka,
setelah sekian lama menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum.
“
Orang
yang berpuasa itu memiliki dua kegembiraan, yaitu kegembiraan saat
berbuka dan kegembiraan saat bertemu dengan Tuhannya (kelak di akhirat) (HR Muslim). Merasa gembira dan nikmat saat memakan makanan adalah indikator bahagia secara fisik.
Kedua, kebahagiaan intelektual. Selama Ramadhan kita dilatih untuk banyak tadarus, membaca Alqur’an, belajar Islam, dan sebagainya.
Membaca,
belajar, dan berlatih diri berarti memenuhi kebutuhan otak dan akal
kita, sehingga kita bisa merasakan kebahagiaan intelektual, sebuah
kebahagiaan yang tidak dapat diraih makhluk selain manusia.
Salah satu cirri kebahagiaan Mukmin adalah bersyukur dengan mendayagunakan akalnya untuk memikirkan ayat-ayat Allah, baik
Qur’aniyyah maupun
Kauniyyah.Ketiga, kebahagiaan sosial.
Spirit kebersamaan dan berjamaah di bulan Ramadhan banyak mewarnai
kehidupan spiritual kita. Pada saat yang sama, kita juga dilatih untuk
gemar bersedekah, berinfak, berbagi, dan berzakat.
Sedekah, infak, dan zakat merupakan bentuk kepedulian sosial untuk membahagiakan orang lain, terutama para kaum fakir miskin.
Kebahagiaan
sosial terletak pada sejauh mana kita bisa diterima oleh
saudara-saudara kita sekaligus memberikan manfaat dan nilai tambah bagi
sesama. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat
bagi orang lain.” (HR. at-Thabarani).
Keempat, kebahagiaan emosional.
Berlatih menahan rasa lapar, dahaga, dan aneka godaan duniawi lainnya
yang dapat dilalui dengan sukses merupakan sebuah kebahagiaan psikis
yang luar biasa.
Bersabar saat lapar, bersabar mengendalikan emosi, bersabar dalam memenuhi kebutuhan perut saat berbuka dengan tidak
balas dendam atas
nama kelaparan merupakan kebahagiaan emosional yang dapat menyadarkan
diri akan pentingnya menumbuhkan sikap empati dan solidaritas sosial,
terutama kepada fakir miskin.
“
Puasa itu separoh dari kesabaran”, begitu sabda Nabi SAW. Mukmin yang bisa bersabar adalah Mukmin yang bahagia.
Kelima, kebahagiaan spiritual. Kebahagiaan ini tercermin pada ketaatan dan ketekunan kita dalam beribadah kepada Allah SWT.
Selama
Ramadhan kita dilatih untuk selalu proaktif mendekatkan diri dan
“menemui” Allah SWT melalui ritualitas shalat, dzikir, i’tikaf, tadarus,
dan sebagainya.
Kedekatan dan
pertemuan spiritual inilah yang sesungguhnya membahagiakan diri, lebih-lebih jika kita mendapat janji Allah berupa
garansi ampunan-Nya.
Mendapat
ampunan dan ridha-Nya merupakan puncak kebahagiaan spiritual yang harus
terus kita lestarikan dengan tetap selalu bertaubat dan bersitighfar
kepada-Nya.
Kelima spirit Ramadhan yang bermuara kepada
kebahagiaan itu idealnya menjadi komitmen bersama dalam meningkatkan
amal ibadah kita pascaramadhan.
Mari kita tindaklanjuti dan
tingkatkan (Syawwal) aneka amaliah Ramadhan yang sudah pernah kita
jalani selama bulan Ramadhan itu dalam sebelas bulan berikutnya dengan
ber-fastabiqul khairat menuju ridha-Nya.
Wallahu a’lam.
(Oleh :
Muhbib Abdul Wahab)