Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Dalam melaksanakan agamanya, umat tergolong menjadi dua. Ada yang tulus, sering disebut dengan
mukhlishin lahu ad-din hunafa (QS al-Bayyinah [98]: 5).
Ada juga yang tidak tulus (disebut
ya‘budullaha ‘ala harf, beribadah
di tepi. (QS
al-Hajj [22]: 11). Tentu saja yang pertama benar, dan yang kedua salah.
Tetapi, dalam kelompok pertama pun ada tiga model pendekatan.
Dalam buku
Nahj al-Balaghah,
sebuah buku kumpulan nasihat, wejangan, dan kata-kata bijak Ali bin Abi
Thalib yang disusun dan dikumpulkan Asy-Syarîf ar-Radhiy, sahabat Ali
bin Abi Thalib berkata, “
Ada orang yang beribadah kepada Allah
karena ingin sesuatu, itu adalah cara ibadahnya pedagang. Ada orang yang
beribadah kepada Allah karena takut, itu cara ibadahnya budak atau
hamba sahaya. Ada pula orang yang beribadah kepada Allah karena rasa
syukur, itulah cara ibadahnya orang-orang yang merdeka.”
Jika
kita berpikir akan dapat pahala apa atau dapat untung berapa ketika
hendak bersedekah, itu artinya kita beribadah dengan cara pedagang,
lebih mempertimbangkan untung-rugi. Meski dibolehkan, ibadah cara ini
bukan yang terbaik.
Jika kita baru terpanggil untuk beribadah karena takut masuk neraka, itu berarti kita termasuk kelompok kedua,
beribadah cara budak. Ini mirip pengendara sepeda motor yang memakai helm karena takut ditangkap polisi, bukan demi keselamatan dirinya.
Kalau tidak ada polisi, dia tidak memakai helm. Polisi boleh saja tidak ada, tetapi kecelakaan bisa terjadi kapan saja.
Ibadah
cara seperti ini pun boleh walaupun bukan yang terbaik. Yang ketiga,
adalah cara beribadahnya orang-orang yang berjiwa bebas!
Orang
seperti ini melaksanakan shalat bukan lantaran takut neraka, tetapi
semata-mata karena sadar Allah satu-satunya yang patut disembah.
Ibaratnya, ada atau tidak ada polisi, orang seperti ini akan tetap
menggunakan helm demi menghindari bahaya.
Orang-orang seperti ini
akan lebih konsisten dalam beribadah karena merasa sudah teramat banyak
nikmat Allah yang mereka terima dan patut mereka syukuri.
Sebesar
apa pun derita yang dialami, mereka lebih memandang kenikmatan yang ada
di balik itu. Sesuatu yang patut mereka syukuri sehingga terdorong
untuk terus beribadah. Orang yang beribadah dengan cara pedagang dan
budak, biasanya bersikap
itung-itungan.
Dia cenderung
hanya mengerjakan ibadah wajib. Sudah merasa cukup kalau sudah
melaksanakan shalat lima waktu. Sudah merasa cukup kalau sudah puasa
Ramadhan.
Tetapi, orang yang beribadah dengan jiwa bebas akan
selalu terdorong untuk beribadah sebanyak-banyaknya. Sebab, orang
seperti ini yakin sekali, nikmat Allah yang harus disyukuri pun begitu
amat banyak, bahkan tak terhitung.
Dari sinilah kita bisa memahami, mengapa Rasulullah selalu bangun malam, shalat tahajud, dan witir sampai kaki beliau bengkak.
Ketika ditanya Aisyah mengapa masih saja berpayah-payah bangun malam,
padahal Allah SWT sudah mengampuni dosanya, beliau menjawab, “
Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?”
Rasa
ingin bersyukur itulah yang mendorong beliau melakukan banyak sekali
ibadah. Dengan kata lain, ibadah yang beliau lakukan itu merupakan wujud
dari kesyukuran kepada Allah atas berbagai karunia-Nya.
Dan ini sejalan dengan firman Allah,’’
Sungguh,
Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang amat banyak. Maka
laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan
mendekatkan diri kepada Allah).’’ (QS al-Kautsar [108]: 1-3).
Dari sini pula kita bisa memahami ungkapan Sayyidina Ali yang lain ketika beliau bermunajat kepada Allah. “
Ya
Allah! Aku menyembah-Mu bukan karena takut siksa-Mu, juga bukan karena
aku ingin pahala-Mu, tetapi aku menyembah-Mu semata-mata karena Engkau
memang layak dan patut untuk disembah.”
(Oleh: Muhammad Arifin)