Keimanan otentik dibuktikan dengan kesediaan secara tulus untuk
selalu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Dalam Islam,
perintah dilaksanakan sekuat kemampuan, sementara larangan dijauhi tanpa
syarat dan tawaran.
Haji, misalnya, hanya diwajibkan bagi
mereka yang mampu. Demikian pula sedekah, zakat, puasa, dan
perintah-perintah agama yang lain. Berbeda dengan zina, judi, konsumsi
barang haram, dan lainnya, semua itu berlaku mutlak bagi setiap kaum
beriman, kaya atau jelata, alim atau awam, besar atau kecil.
Dalam
bidang perintah, Allah tidak akan memaksa seorang hamba untuk melakukan
kewajiban di luar kemampuannya. Manusia hanya diseru untuk
mempersembahkan yang terbaik. Karena, setiap perintah sejatinya demi
kemaslahatan manusia, dan setiap larangan pasti mengandung mudarat
dahsyat. Fakta demikian sudah banyak dibuktikan oleh pakar-pakar
keilmuan modern.
Jika direnungkan, melaksanakan perintah
ternyata lebih ringan ketimbang menjauhi larangan. Banyak orang rajin
shalat tetapi gagal mencegah diri dari perbuatan jahat. Tidak sedikit
orang berulang kali pulang umrah atau haji dari Tanah Suci tetapi masih
bersikap tinggi hati. Juga tidak sedikit orang aktif berpuasa wajib dan
sunnah sekaligus berperangai abai terhadap penderitaan sesama.
Benarlah
kata pepatah, manusia memang tempat salah dan lupa. Ia terlalu mudah
terpukau oleh segala yang mempesona indra. Apalagi bujuk rayu setan dan
nafsu kerap menjerumuskannya pada kezaliman dan kebodohan. Perhatikan
firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 34 berikut.
“Dia
telah memberikan kepada kalian keperluan kalian dan segala yang kalian
mohonkan kepada-Nya. Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya
kalian tidak akan dapat menghitungnya. Sungguh manusia itu sangat zalim
dan sangat ingkar.” (QS Ibrahim: 34).Karena itu, saatnya kaum
beriman senantiasa sigap dan waspada. Jangan biarkan segala kebaikan
yang susah payah kita usahakan tersapu oleh kezaliman dan kebodohan
kita. Sebagaimana pentingnya kita memahami pintu-pintu kebaikan, tidak
kalah penting pula mencermati ranjau-ranjau kemaksiatan yang kerap
menyeret manusia ke dalam jurang kehinaan dan kehancuran.
Secara
umum, ada empat macam ranjau kemaksiatan. Siapa mampu mengantisipasi
keempat ranjau itu, maka dia telah menyelamatkan agamanya.
Pertama, pandangan pertama (al-lahazhat). Pandangan mata memang kerap
menipu, sehingga menjadi muasal bencana bagi hidup manusia. Pandangan
mata wadag melahirkan lintasan dalam pikiran, sementara pikiran akan
mengendalikan setiap ucapan dan perbuatan. Islam sangat menekankan agar
kita mampu menjaga pandangan.
Kedua, lintasan pikiran
(al-khatharat). Ranjau ini tidak boleh kita anggap enteng dan merupakan
yang paling sulit diantisipasi. Betapa tidak, setiap ucapan dan
perbuatan manusia, baik atau jahat, mulia atau hina, sudah pasti
pantulan dari segala yang terlintas dalam pikirannya. Pikiran yang
diterangi cahaya agama akan melahirkan perilaku mulia, sementara pikiran
yang berselimut noda akan menghasilkan perilaku tercela.
Ketiga,
ucapan (al-lafazhat). Sejenak mari kita renungkan kisah Muadz bin Jabal
yang pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang amalan yang dapat
memasukkannya ke surga dan menjauhkannya dari neraka. Rasulullah
kemudian memegang lidah beliau sendiri dan berkata, “Jagalah olehmu yang
satu ini”. Segera Muadz berkata, “Adakah kita semua bisa disiksa
disebabkan apa yang kita ucapkan?” Rasulullah menjawab, “Ibumu
kehilangan engkau, Muadz. Tidaklah dapat menyungkurkan wajah banyak
manusia ke neraka, kecuali ucapan lidah mereka.” (HR Tirmidzi).
Keempat,
tindakan kejahatan (al-khathawat). Modus tindakan kejahatan tentu
beragam, baik secara samar maupun tampak. Yang pasti, semua itu
merupakan bentuk kemaksiatan. Tidak ada ucapan dan perbuatan jahat yang
bukan kategori kemaksiatan. Sebaliknya, segala bentuk kemaksiatan pasti
akan melahirkan ucapan dan perbuatan jahat. Itulah sebabnya, kemaksiatan
sangat dibenci oleh Allah dan manusia.
Kendati demikian, tidak
ada manusia yang dapat lepas dari ranjau kemaksiatan. Terlalu naif jika
kita menganggap diri tidak pernah melakukan kemaksiatan. Sepanjang dunia
ada dan manusia masih bernyawa, ranjau kemaksiatan akan selalu
tersedia. Itulah tantangan hidup manusia yang sebenarnya.
Sebagaimana
nurani yang selalu suci, fitrah manusia juga memiliki jiwa yang
merupakan pintu masuk keburukan dan kebaikan. Bersyukurlah siapa saja
yang mampu mensucikan jiwanya dari segala bentuk kemaksiatan.
“Maka
Allah telah mengilhamkan kepada jiwa jalan kefasikan dan ketakwaan.
Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwa, dan sungguh rugi orang
yang mengotorinya.” (QS As-Syams: 8-10).Mensucikan jiwa dari
kemaksiatan jelas bukan perkara mudah. Terlebih di zaman serba modern
ini, kemaksiatan selalu tampil memukau dan mempesona. Ghibah alias
rerasan keburukan orang dikemas dalam sajian bernama infotainmen. Orang
begitu menikmatinya tanpa sadar bahwa dia sesungguhnya sedang melakukan
sesuatu yang sangat dilarang agama.
Belum lagi kekerasan,
pornografi, pornoaksi, umpatan, kemarahan, pelecehan martabat manusia,
dan segudang perilaku sampah lain yang disajikan secara elegan dalam
hiburan bernama sinetron dan tontonan musik. TV tidak pernah membatasi
pemirsa. Kalangan anak, remaja, dewasa, dan manula di setiap rumah bebas
menikmatinya.
Jika tidak kita waspadai dan lawan dengan segenap
daya dan doa, ranjau-ranjau kemaksiatan ini jelas akan merontokkan
sendi-sendi moralitas dan keberagamaan kita hingga tanpa bersisa.
Wallahu a’lam.
(Oleh :
M Husnaini)