Abdullah bin Ma’lam bertutur: “
Ketika kami berhaji dan keluar dari
Madinah, tiba-tiba kami bersua dengan seseorang dari suku Bani Hasyim
dari Bani Abbas bin Abdul Muthallib. Ia menolak dunia dan fokus
sepenuhnya untuk akhirat. Kemudian aku dan ia disatukan dalam suatu
perjalanan, dan aku merasa nyaman bersamanya.”Abdullah menyapanya. “
Apakah Anda bisa naik kendaraan bersama saya? Kebetulan saya ada tempat lebih.” Orang itu pun menjawab; “
jazakallah khaira” (
semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan) pada saya.”
Setelah merasa nyaman bersama saya, ia bercerita. “
Saya
adalah keturunan dari Bani Abbas. Dulu saya tinggal di Basrah,
mempunyai kemuliaan, kenikmatan, kekayaan yang melimpah, dan kemewahan
hidup.''
Ia melanjutkan, ''
Suatu hari saya menyuruh
pelayan agar mengisi kasur dan bantal dengan bahan sutera, yang dihiasi
pula dengan taburan bunga mawar. Pelayan pun melakukan apa yang
kutitahkan,” ujarnya.
“
Begitu saya hendak tidur,
ternyata ada cerocok bunga mawar yang tertinggal karena pelayan lupa
merapikannya. Saya pun menderanya dengan sejumlah pukulan. Setelah
cerocok itu dikeluarkan dari bantal, saya balik lagi ke tempat tidur.”
“
Dalam
tidur, saya bermimpi didatangi seseorang yang buruk rupa, seraya
berkata; ‘Sadarlah dari pingsanmu, dan bangkitlah dari tidur lelapmu.’
Lantas dia menembangkan puisi: “
Hai
teman spesial, kini kau berbantalkan yang halus dan empuk. Namun
setelah ini, kau beralaskan batu cadas yang keras. Maka bentangkan amal
saleh untuk dirimu, sehingga kau bahagia. Jika tidak, esok engkau akan
menyesal.”
“
Kemudian aku bangun dan terjaga, dengan dihantui kecemasan. Lalu aku keluar saat itu juga, dan lari menuju Rabb-ku.”Medium
atau sebab untuk meraih kesadaran dan pertobatan memang amat beragam.
Misalnya, seseorang baru sadar jika ditimpa penyakit akut lalu sembuh,
mengalami kecelakaan maut lantas selamat, bertemu dengan seseorang yang
piawai dalam menyentuh tali jiwanya, karena perjalanan usia, atau
lantaran mimpi— seperti tersimbul dari narasi di atas.
Terkadang,
sebab itu datang sendiri menyelinap ke dalam hati seseorang yang
dikehendaki Allah. (QS al-Qashash: 56). Maka berbahagialah mereka yang
bisa mereguk kesadaran ini sebelum ajal tiba.
Memunculkan
kesadaran akan Allah dan akhirat, hakikatnya memang hak prerogatif
Allah. Di samping ia juga merupakan medan mujahadah seseorang. Beragam
ujian seringkali menjadi dinding tebal untuk sampai kepadanya.
Selain
kemiskinan, kekayaan juga merupakan perangkap yang kerap meninabobokan
seseorang sehingga mereka terlena dalam kemaksiatan.
Ketika banyak orang dan tokoh
high class terperosok
dalam jurang kemaksiatan, seraya melupakan Allah dan Hari Akhir seperti ramai diberitakan, gambaran di atas mengajarkan hal penting.
Bagaimana
keturunan Bani Hasyim yang berada dalam gemerlapnya kekayaan ini telah
mengambil keputusan yang amat menentukan perjalanan hidupnya.
Hal
ini jelas tak mudah, karena orang yang tidur itu tak sadar jika dirinya
bermimpi, kecuali sudah bangun. Demikian pula orang yang lalai terhadap
akhirat; ia tidak menyadari akan apa yang sudah disia-siakan kecuali
setelah kematian menjemputnya.
(Oleh :
Makmun Nawawi)
Title : Terlena Dengan Kekayaan
Description : Abdullah bin Ma’lam bertutur: “ Ketika kami berhaji dan keluar dari Madinah, tiba-tiba kami bersua dengan seseorang dari suku Bani Has...