Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Orang yang cerdas tidak akan meremehkan perbuatan baik sekecil apa pun dan tidak gegabah berbuat dosa walau sekecil biji sawi. Ia tahu, perbuatan baik atau jahat itu mula-mula amat kecil ketika dilakukan, akan tetapi bila pengaruhnya terus berlangsung lama, akan amat besar pahala atau dosanya. Allah SWT berfirman dalam Surah Yasin [36]: 12, ”Kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.”
Ayat ini menegaskan bahwa tanggung jawab itu bukan saja terhadap apa yang diperbuat seseorang, melainkan melebar sampai pada akibat dari perbuatan tersebut. Artinya, perbuatan baik ataupun jahat akan diberikan pahala atau dosa ditambah dengan pahala atau dosa orang-orang yang meniru perbuatan itu. Orang yang meninggalkan ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah, atau anak yang shaleh, kesemuanya itu akan mengkibatkan kebaikan. Demikian pula sebaliknya.
Kemudian ada pertanyaan, apabila yang memerintah kejahatan itu seorang pemimpin, apakah dia saja yang akan menanggung dosanya dan dosa rakyatnya karena mereka dipaksa? Ataukah rakyat juga harus menanggung dosanya walau ia melakukannya karena ancaman?
Seorang penguasa dianggap tidak memaksa selama rakyat masih memiliki kehendak yang ada dalam dirinya. Perintah seorang pimpinan secara lisan ataupun tulisan tidak berarti melepaskan seorang bawahan dari tanggung jawab atas semua perbuatannya. Al Quran mencela orang-orang yang melakukan dosa dengan alasan pimpinannya telah menyuruhnya.
Firman Allah, ”Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: ‘Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul’. Dan mereka berkata: ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar.” (QS Al-Ahzab [33]: 66-67).
Allah membantah mereka dengan tegas, ”Harapanmu itu sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu telah menganiaya dirimu sendiri. Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu.” (QS Az Zukhruf [43]: 39).
Demikianlah bahwa pemimpin yang zalim tidak akan bisa memaksa hati seseorang kendati mampu memaksanya secara lahiriah. Oleh sebab itu, rakyat atau bawahan pun harus bertanggung jawab terhadap akidahnya dan perbuatannya, meskipun di sana ada perintah dan larangan pimpinan. Dalam keadaan demikian, seorang Mukmin sejati tidak akan menerima kepemimpinan seseorang kecuali dengan ekstra hati-hati, seraya memperbaiki dirinya, keluarganya, dan semua yang menjadi tanggungannya.
Wallahu a’lam.
(Oleh : Prof Dr Achmad Satori Ismail)