Sebelum menemui ajalnya, khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq RA. pernah
memanggil Umar ibn al-Khaththab RA lalu menyampaikan wasiat kepadanya.
“Wahai
Umar, Allah itu mempunyai hak (diibadahi) pada siang hari yang Dia
tidak menerimanya di malam hari. Sebaliknya, Allah Swt juga mempunyai
hak (diibadahi) pada malam hari yang Dia tidak mau menerima di siang
hari. Ibadah sunnah itu tidak diterima sebelum ibadah wajib itu
dilaksanakan.”
Wasiat Abu Bakar tersebut menyadarkan Umar bahwa
rotasi waktu itu penuh nilai dan harus dimaknai sedemikian rupa,
sehingga manusia tidak merugi dalam hidupnya.
Umar melihat
pesan Abu Bakar tersebut sebagai isyarat pentingnya manajemen waktu
dalam memimpin umat. Menurut Yusuf al-Qaradhawi, pesan Abu Bakar
tersebut mengandung arti bahwa sebagai calon khalifah, Umar harus bisa
membagi waktu: kapan harus menunaikan kewajibannya kepada Allah SWT,
kewajiban kepada rakyatnya, dan kewajiban kepada dirinya sendiri.
Sedemikian pentingnya waktu itu, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah menegaskan menyia-nyiakan waktu (
idha’atul waqti)
itu lebih berbahaya daripada sebuah kematian, karena menyia-nyiakan
waktu itu dapat memutus hubungan engkau dengan Allah dan akhirat.
Sedangkan
kematian hanya memutusmu dari kehidupan dunia dan keluarga saja. Orang
yang menyia-nyiakan waktu akan kehilangan kesempatan untuk berinvestasi
bagi kehidupan akhiratnya.
Oleh karena itu, Ibn Mas’ud ra pernah
berkata: “Aku tidak menyesali sesuatu selain kepada hari yang
mataharinya telah terbenam dan umurku berkurang, tetapi di hari itu
amalku tidak bertambah.”
Manajemen dan disiplin waktu menjadi sangat penting, jika seorang Muslim berusaha menggapai kesuksesan hidup dunia dan akhirat.
Namun
dalam faktanya, banyak orang terlena dan mengabaikan nilai waktu. Waktu
berlalu tanpa makna dan amal shaleh. Tidak sedikit anak-anak muda kita
banyak menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang, bermain-main, dan
berleha-leha.
Kesadaran
wal ashri (pentingnya nilai waktu) cenderung tergradasi karena aneka
permainan duniawi yang menghibur dan memperdayakan, seperti sinetron, aneka games, dan sebagainya.
Dalam
memanajemeni waktu, Umar bin Abdul Aziz pernah berkata: “Siang dan
malam itu bekerja untukmu, karena itu beramallah dalam keduanya.”
Sebagai
manifestasi dari aplikasi manajemen waktu, ketika diamanahi sebagai
khalifah, Umar bin al-Khaththab pernah memberikan nasehat kepada Abu
Musa al-Asy’ari: “Pemimpin yang paling bahagia menurut Allah SWT adalah
orang yang mampu membuat rakyatnya bahagia.
Pemimpin yang paling
menderita menurut Allah adalah pemimpin yang membuat rakyatnya
sengsara. Hendaklah engkau tidak melakukan penyimpangan, sehingga engkau
dapat menyimpangkan para pekerjamu, tak ubahnya engkau seperti
binantang ternak.”
Semua itu tidak mungkin dapat direalisasikan
tanpa manajemen waktu yang efisien dan efektif. Kata kunci manajemen
waktu adalah disiplin dan penyegeraan penyelesaian kewajiban, tugas,
dan pekerjaan.
Nabi Muhammad Saw adalah figur teladan yang
paling disiplin waktu, lebih-lebih setelah ditetapkannya shalat lima
waktu sebagai fardhu ‘ain (kewajiban personal).
Melalui aneka
ibadah, terutama shalat, yang dalam al-Qur’an telah ditentukan
waktu-waktunya (QS. an-Nisa’ [4]: 103), kita dididik untuk disiplin
waktu secara baik dan benar. Muslim yang melaksanakan shalat dengan
benar mestinya tidak pernah mengabaikan waktu.
Penyegeraan
penyelesaian kewajiban dan tugas juga merupakan tradisi Nabi SAW yang
patut diteladani. Beliau bukan hanya memerintahkan umatnya untuk
misalnya menyegerakan membayar hutang, mengurus janazah, dan
sebagainya, melainkan juga memberi nilai plus kepada umatnya yang
bangun tidur lebih awal.
Bahkan Nabi SAW pernah meminta kepada Allah agar umat diberkahi dalam waktu pagi (bersegara menuntaskan persoalan. Doa beliau: “
Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu paginya.” (HR. Abu Daud, at-Turmudzi, dan Ahmad)
Implikasi
manajemen waktu dalam Islam sungguh sangat serius sekaligus indah,
karena salah satu karunia yang akan diaudit oleh Allah di akhirat kelak
adalah pemanfaatan umur kita, tentu termasuk waktu, selama hidup di
dunia.
Dalam hal ini Nabi SAW bersabda: “
Tidaklah kedua kaki
seorang hamba itu melangkah sebelum ditanya tentang empat hal: tentang
umur, untuk apa dihabiskan? Tentang (kesehatan) fisik, untuk
dipergunakan? Tentang harta, darimana diperoleh? Dan Untuk apa
dibelanjakan? Dan tentang ilmu, apakah sudah diamalkan? (HR. al-Turmudzi dan al-Thabarani).
Karena
itu, agar fungsional dan bermakna, manajemen waktu harus senantiasa
dikawal dengan kesadaran wal ashri, melalui reformasi iman, amal shaleh,
saling berwasiat kebenaran dan saling membelajarkan kesabaran (QS.
al-‘Ashr [103]: 1-3).
Waktu menjadi bermakna jika dilandasi iman
yang kokoh, ditindaklanjuti dengan aneka kesalehan, dikembangkan dengan
pencarian kebenaran secara akademik, dan diperindah dengan kesabaran
sebagai moralitas kehidupan.
Mudah-mudahan kita semua mampu memanej waktu dengan optimal dan efektif, sehingga hidup kita menjadi lebih berkah dan bermakna.
Wallahu a’lam.
(Oleh :
Muhbib Abdul Wahab)