Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
“Sungguh, seandainya kalian bertawakal kepada Allah sebenar-benar
tawakal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki
burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang
sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. At-Tirmidzi).
Ternyata ada beberapa sifat dan sikap yang dilakukan oleh burung dalam mencari makanannya, yaitu:
1. Burung selalu bangun pagi. Tidak ada burung yang bangunnya
kesiangan, kecuali burung sakit, atau burung malam (burung hantu). Namun
jika dilihat secara umum, burung selalu bangun pagi. Ia bangun dengan
penuh optimisme, riang dan gembira tanpa ada rasa khawatir sedikitpun
akan makan apa hari ini, tidak pernah khawatir akan rizki yang pasti
sudah disiapkan oleh Allah. Bahkan di celah persiapannya, dia sambil
sibuk bernyanyi dan membangunkan manusia, seolah dia menunjukkan kepada
kita akan rizki Allah yang selalu siap kita jemput. Seolah ia
menunjukkan kepada kita bagaimana ia bertasbih kepada Allah, melalui
kicauannya.
Contohlah burung saat ia bangun pagi, ia selalu menyempatkan diri
untuk bersyukur, memuji Allah yang Maha Pemurah, dan bertasbih kepada
Allah melalui nyanyiannya. Kita diberi infrastruktur jauh lebih istimewa
daripada burung, mari kita gunakan waktu kita untuk bangun pagi,
bersyukur, bertasbih dan bermunajat kepada Allah, seperti yang dilakukan
oleh burung.
2. Burung berusaha berdiri, persiapan sebelum terbang. Dalam usaha
mencari rizki, kita juga harus melakukan “pemanasan”, persiapan fisik
maupun mental, maupun fikiran guna kesempurnaan ikhtiar kita.
3. Burung terbang dan mengepakkan sayap melawan gravitasi bumi. Dalam
usaha mencari rizki, jarang sekali tanpa hambatan ataupun kesulitan
yang kita hadapi, seperti burung saat terbang dia berusaha sekuat tenaga
untuk melawan grafitasi bumi, agar tidak terjatuh.
Seperti kita, di setiap usaha ada saja penolakan, kelelahan,
kesulitan, kebuntuan berfikir yang kadang kita temui, namun yakinlah,
bahwa semua itu akan membuat kita menjadi lebih taft, lebih tangguh,
lebih ahli di kemudian hari, seperti otot-otot sayap burung, karena
setiap hari melawan kuatnya gravitasi bumi, dia akan menjadi lebih kuat
dan kuat lagi, hingga jika dalam cuaca ekstrim sekalipun, dia telah
terbiasa. Jika kita telah terbiasa dengan “ hujan badai “ sulitnya
mencari rizki, maka disaat ada cuaca normal, semua kondisi wajar, kita
akan dengan mudah menaklukkan tantangan kehidupan tersebut.
4. Saat terbang selalu yakin dan tak pernah ragu. “Dan barang siapa
yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)
nya.” (QS. Ath Tholaq: 3).
Saat kita telah berdo’a, dan bertawakkal kepada Allah, maka jangan
pernah ragukan hasilnya, karena yakinlah, Allah telah mempersiapkan
rizki untuk kita. Burung tak pernah ragu saat terbang, dia selalu yakin
bahwa, disana ada harapan, yang telah dipersiapkan oleh Allah.
5. Terbang dengan insting, ke tempat yang rimbun dan subur. Dalam
usaha mencari rizki, diperlukan “ilmu” yang relevan, guna menunjang
kesempurnaan ikhtiar. Jikalau burung hanya dibekali insting oleh Allah,
untuk mencari tempat-tempat yang rimbun dan subur makanan, maka kita
diberi panca indra dan akal pikiran yang luar biasa oleh Allah, yang
bisa kita gunakan untuk menganalisa dimana tempat-tempat yang subur dan
rimbun akan rizki Allah.
6. Setelah makan, dia bawa pulang sebagian rizkinya. Saat mencari
rizki, jangan pernah lupakan beban amanah keluarga, anak istri yang
selalu menanti hasil ikhtiar yang kita lakukan.
7. Jika mengambil makanan, burung tidak pernah merusak. Saat
mengambil makanan, burung selalu dengan cara yang indah dan santun,
tidak pernah ia melakukan perusakan dalam proses pencarian makanan,
bahkan ada beberapa jenis burung yang membantu proses pembuahan beberapa
tanaman.
Malu rasanya, jika kita dalam proses mencari rizki kita, harus
merugikan orang, harus merusak hak-hak orang, harus menyakiti dan
mengecewakan orang lain.
“Barang siapa yang merasa lelah di sore hari karena mencari rizki
dengan tangannya, maka akan diampuni dosa-dosanya.” (HR Tabrani).
Wallahu a’lam.
(Oleh: Nuri Nawan)