Suatu hari Khalifah Abbasiyah Harun Ar Rasyid pergi haji kemudian
berziarah ke Masjid Nabawi dan sangat ingin bertemu serta belajar kepada
Imam Malik bin Anas, imam mazhab terkemuka.
Dari tempat
menginap, Ia mengirim utusan untuk menyampaikan keinginannya untuk
belajar dan memohon agar Imam Malik berkenan menemuinya. Namun Imam
Malik bin Anas tidak mau memenuhinya.
Imam Malik menyampaikan
pesan agar Amirul Mu’minin sebagai penuntut ilmu yang datang ke
majelisnya. Khalifah menuruti permintaan untuk berkunjung ke tempat
Imam Malik bin Anas mengajar, namun memohon agar majelis ilmunya kosong
dari orang lain.
Imam Malik menolak permintaan itu seraya
berkata, “Jika ilmu tidak diberikan kepada orang umum, maka tak berguna
ilmu bagi orang khusus!”
Ada dua hikmah dari penolakan Imam Malik bin Anas terhadap permintaan Khalifah.
Pertama,
mengingatkan bahwa meskipun seorang Khalifah mendapat mandat kekuasaan
yang besar, atas nama Allah pula, namun kekuasaan itu tak dapat
menundukkan ketinggian ilmu. Malaikat bersujud kepada Adam setelah
mengetahui ilmu Adam lebih tinggi daripada pengetahuan Malaikat.
Demikian
juga kekuasaan Jin terkalahkan oleh Asyif Barchoya ahli Ilmu Nabi
Sulaeman yang mampu lebih cepat memindahkan singgasana. Kekuasaaan
Namrud ditundukkan oleh ilmu dan argumentasi Ibrahim tentang berhala
besar yang menghancurkan berhala-berhala kecil. Semuanya itu merupakan
bukti akan ketinggian ilmu.
Kedua, dapat saja Khalifah belajar
secara private, namun pilihan Imam Malik adalah Majelis yakni belajar
bersama sama dengan yang lain. Di samping status penuntut ilmu itu sama,
juga “majelis ilmu” jauh lebih bermashlahat. Berjamaah lebih berkah
daripada munfarid.
Secara interelasi, belajar bersama akan
menumbuhkan sikap saling memotivasi dan mengoreksi. Sementara secara
transendental belajar bersama-sama itu digaransi untuk mendapat bantuan
do’a dari Malaikat.
Kekuasaan yang di dalamnya ada unsur
pengaruh, tekanan, atau pula uang, sering digunakan untuk menggiring
kaum berilmu tunduk dan patuh pada kemauan kekuasaan tersebut. Karenanya
tak jarang kaum intelektual ataupun ulama suka merendahkan dirinya
untuk mendatangi atau mendekat-dekatkan diri dengan para penguasa.
Dalam
bahasa umum sering disebut dengan pelacur intelektual atau dalam bahasa
Nabi disebut lisun (pencuri). Mereka membungkuk-bungkuk dan selalu siap
untuk memberi stempel kepada setiap kemauan pejabat negara.
Kisah
lainnya, Khalifah Adhudiddaulah mengutus Qadhi Abubakar Al Baqilani
untuk menyampaikan surat kepada Kaisar Romawi. Ketika tiba di ibukota,
Kaisar mengetahui utusan ini adalah ulama dengan ilmu dan martabat yang
tinggi.
Kaisar berfikir tentang penyambutan. Tak mungkin ia
memandang Qadhi Abubakar Al Baqilani seperti rakyat biasa yang harus
mencium tanah jika menghadap Kaisar sebagai penghormatan. Akan tetapi di
sisi lain dia tidak ingin siapapun yang menghadap kepadanya tidak
menunjukkan kerendahan dirinya dihadapan Kaisar.
Maka solusi
ditemukan. Dipindahkannya tempat duduk yang biasa digunakan untuk
menyambut tamu di belakang pintu. Dirancang sedemikian rupa agar tamunya
Qadhi Al Baqilani ketika memasuki ruangan terpaksa harus membungkuk
berjalan menuju Kaisar.
Ketika tiba sang tamu, maka Qadhi
Abubakar Al Baqilani ternyata memutar punggungnya dan membungkukkan
tubuhnya lalu berjalan mundur dengan membelakangi arah tempat duduk
Kaisar hingga sampai dihadapannya. Kemudian baru berdiri tegak dan
berbalik kepadanya. Disampaikanlah maksud kedatangannya.
Kaisar Romawi mengagumi kecerdikan dan penghargaan diri terhadap status pemangku ilmu sang Qadhi.
Seperti
dijanjikan dalam Alquran, Allah SWT akan meninggikan derajat orang yang
berilmu. Orang alim hanya takut kepada Allah. Karenanya sebagai
pemangku ilmu Allah, ulama sudah seharusnya menjaga wibawa keilmuannya.
(Oleh :
HM Rizal Fadillah)