Khalifah Umar bin Khattab memiliki postur tinggi besar dan berwibawa.
Suatu ketika berjalan melewati anak-anak yang sedang bermain di jalan.
Melihat kedatangan Khalifah Umar mereka lari ketakutan kecuali Abdullah
bin Zubair yang tetap berdiri tanpa takut sedikitpun, bahkan ia menatap
wajah Umar.
Umar Bin Khattab melihat anak ini berbeda dengan
teman seusianya dan mengagumi sikapnya, lalu bertanya: “ Mengapa engkau
tidak lari bersama teman-temanmu?”
Abdullah bin Zubair kecil
tanpa segan menjawab dengan lantang: “Wahai Amirul Mu’minin, aku tidak
melakukan kejahatan apa pun mengapa harus lari? Jalan ini tidak sempit,
mengapa aku harus menyingkir memberi jalan untukmu?”
Luar biasa
ketegaran dan keberanian anak ini. Ia putra tokoh Islam Zubair bin Awwam
dan Asma yang telah membentuk karakter cerdas dan ksatria yang penting
untuk kehidupannya di kemudian hari.
Menurut Aisyah ketika
anak itu masih bayi, Rasulullah SAW mengusap anak tersebut dan memberi
nama Abdullah. Ketika berusia tujuh atau delapan tahun Abdullah datang
kepada Nabi untuk berbaiat. Rasulullah SAW tersenyum saat melihat anak
itu menghadap. Kemudian dia membaiat Nabi (HR Muslim).
“Mengapa
harus lari?” pertanyaan yang sekaligus menjadi jawaban bahwa dengan
tidak lari dan menghindarpun toh akan selamat. Hanya orang yang berdosa
dan melakukan kejahatanlah yang pantas untuk takut dan lari.
Memang
kadang aneh, orang yang menyimpang dan melakukan kejahatan kadang
berani menghadang tantangan dan risiko, padahal mereka berada di jalan
yang tak selamat. Sementara itu orang yang benar dan jujur justru
sebaliknya malah jadi penakut. Disinilah Abdullah bin Zubair memberi
pelajaran.
Pendidikan karakter itu harus sejak dini. Yahya As
kecil mendapat pendidikan dari Allah untuk dapat menyelamatkan
kehidupannya sendiri. Keselamatan yang hakiki.
“Wahai Yahya
ambilah Kitab dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan hikmah kepadanya
sejak anak-anak. Dan (Kami jadikan) rasa kasih sayang (kepada sesama),
kesucian dan ketakwaan. Dan sangat berbakti kepada orangtua, tidak
sombong dalam pergaulan dan tak durhaka. Keselamatan bagi dirinya saat
dilahirkan, dimatikan, dan saat dibangkitkan” (QS Maryam 12-15).
Ada
empat hal penting pendidikan karakter Allah SWT kepada Yahya. Pertama
dasar dari nilai adalah Kitab karena celupan (sibghah) dari kepribadian
yang mantap, kuat, dan berani adalah Kitab Allah. Kedua, terbangun
kualitas intelektual yang baik dengan ilmu pengetahuan yang luas dan
memahami hikmah dari berbagai sinyal Allah.
Ketiga, hati yang
bersih dan memiliki kepekaan emosional serta empati yang tinggi terhadap
berbagai penderitaan sesama. Dan keempat, berbuat baik kepada orang tua
dan pergaulan sosial yang bagus dan tidak sombong.
Keempat aspek
di atas telah membuat Yahya muda tidak pernah lari dari medan juang
dan tidak pernah merasa sempit jalan walaupun mesti berhadapan dengan
berbagai bentuk kezaliman penguasa dan kaumnya. Ia tegar menuntaskan
misi kenabiannya.
Ketika kecil kita suka mendengar kisah sikap
jika dikejar oleh seekor anjing. Jika kita lari terus saat anjing
mengejar kita, maka anjing itu akan semakin kencang mengejar dan mungkin
cepat untuk menggigit. Dikatakan kita harus segera diam, berjongkok
seperti sedang mencari batu untuk melemparnya. Niscaya anjing itu akan
berhenti mengejar. Meski hal itu tergantung pada keadaannya, namun
mungkin ada benarnya. Anjing akan berhenti jika dia tahu sasarannya
melawan dan berani.
Di tengah arus zaman yang keras seperti
sekarang dimana kemaksiatan mengepung diri dan anak-anak kita,
nilai-nilai moral mulai tergerus oleh budaya barat yang hedonis,
kerakusan yang memangsa korban siapa saja termasuk saudara dan anggota
keluarga sendiri, mistik-mistik yang berkembang membarengi jiwa
frustrasi yang tidak mampu berkompetisi, maka tidak ada jalan lain
selain dengan gigih kita harus menanamkan jiwa perlawanan, keberanian,
dan harga diri pada anak anak dan pelanjut generasi.
Membesarkan
jiwa mereka untuk mencapai keberhasilan di masa depan. Memberi gambaran
bahwa lapangan kehidupan itu luas dengan rezeki yang Allah tebarkan
dimana-mana. Jalan itu tidak sempit anakku, mengapa harus menyingkir?
Sepanjang engkau tidak melakukan kejahatan apapun, mengapa harus lari?
(Oleh
HM Rizal Fadillah)