Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Dalam al-Qur’an, orang-orang ikhlas disebutkan dengan dua sebutan yakni al-Mukhlishin (98:5, 39:11) dan al-Mukhlashin (15:40, 38:83). Bedanya, pada kata pertama diberi harkat (baris) kasroh pada huruf li (al-Mukhlishin), dan yang kedua ber-harkat fathah pada huruf la (al-Mukhlashin). Keduanya dalam bentuk dan makna berbeda.
Term yang pertama digunakan untuk orang yang ikhlas atau dalam keadaan ikhlas. Sedangkan yang kedua dikaitkan dengan upaya iblis menggoda dan menjerumuskan manusia dari jalan Allah. Tapi, iblis pun tak mampu menggoda mereka.
Dalam Mushaf Ar-Rusydi diterjemahkan dengan hamba-hamba yang terpilih dan diberi penjelasan pada catatan kaki yakni, ”orang-orang yang telah diberi taufik untuk menaati segala petunjuk dan perintah Allah”.
Kata Al-Mukhlishin adalah isim fa’il (subjek) yakni orang-orang yang (berusaha) ikhlas. Sementara al-Mukhlashin adalah isim maf’ul (objek) yakni orang-orang yang diberikan karunia keikhlasan oleh Allah. Kata yang kedua bisa juga dimaknai dengan orang-orang yang sudah tercerahkan hatinya dan lebih tinggi dari yang pertama.
Paling tidak, ada tiga jalan belajar ikhlas. Ketiga jalan menuju keikhlasan tersebut diformulasikan dengan 3-an yaitu :
Pertama; Kewajiban. Tangga pertama bagi seorang Muslim menuju keikhlasan adalah menjalankan kewajiban (mengerjakan perintah dan menjauhi larangan) yang telah disyariatkan agama. Terlepas, apakah ikhlas atau tidak. Melaksanakan kewajiban terasa berat. Berat menunaikan shalat, karena kewajiban harus dijalankan (2:43). Berat mengeluarkan zakat dan membantu yatim dhuafa, tapi harus dilaksanakan (9:103). Berat berpuasa Ramadhan, tapi harus dilakukan (2:183). Berat berhaji, jika sudah mampu harus ditunaikan (22:27).
Ikhlas tidak akan datang dengan sendirinya, tanpa berjuang menjalankan kewajiban. Jika belum ikhlas berzakat, berzakat lagi. Jika belum ikhlas juga, berzakat terus. Bila berhenti, maka tak pernah sampai ke maqam ikhlas.
Kedua; Kebutuhan. Jika kita melakukan kewajiban secara berulang-ulang (mudawamah) dan konsisten (istiqomah), perlahan tapi pasti menjadi kebutuhan. Artinya, muncul kesadaran setiap perintah dan larangan Allah dan RasulNya akan mendatangkan kebaikan (hikmah).
Jika kesadaran hadir, kita yang butuh. Misalnya, diperintahkan shalat walau terpaksa kita lakukan. Setelah mendirikannya, sadar shalat menjadikan hati tentram, badan segar, kesehatan fisik terjaga, kedekatan sosial dan lain-lain. Jika tidak shalat, rasanya ada yang kurang. Akhirnya, kita merasa butuh shalat itu.
Berat menunaikan puasa, tapi setelah mekakukannya, terasa puasa baik bagi kita. Hati jadi tenang, menyehatkan badan, fikiran jernih, dan lain-lain. (2:184). Sama halnya dengan olah raga. Jika tak keringat, badan rasanya tak enak. Jika sudah butuh, kita berusaha mencari jalan agar kebutuhan terpenuhi.
Jika butuh terhadap yatim dhuafa untuk menerima zakat, sedekah kita, malam hari pun kita keliling kampung mendatangi yayasan yang membina yatim dhuafa.
Ketiga; Kenikmatan. Tahapan ketiga menuju keikhlasan adalah merasakan kenikmatan. Ini bisa didapatkan setelah menjalankan kewajiban dan merasakan sebagai kebutuhan. Boleh jadi hal ini bertolak belakang dengan logika.
Sulit dimengerti, mengapa seseorang berdiri lama saat shalat? Membaca Al-Quran bisa meneteskan air mata, meskipun tidak mengerti maknanya? Makan bersama anak yatim dan miskin terasa nikmatnya? Berurai air mata di depan Baitullah, hingga kelelahan tak dipedulikan?
Jika orang merasa nikmat menerima atau memenuhi kebutuhan jasadi, itu kenikmatan sesaat (jasmaniah). Tapi jika bisa merasakan kenikmatan berbagi, bangun di tengah malam sepi menemui Allah, menikmati lapar dan dahaga tatkala berpuasa atau nikmat bersimpuh di depan Ka’bah, itu baru kenikmatan sejati (ruhaniah).
Tak banyak orang yang sampai pada tingkatan ini. Justru, di sinilah buah keikhlasan akan didapatkan. Keikhlasan bisa dirasakan setelah melakukan suatu perbuatan. (QS. 76:8-9). Keikhlasan berbuah kemuliaan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, yakni jannatun na’im khalidina fiha (surga yang penuh kenikmatan dan kekal di dalamnya).
Wallahu a’lam.
(Oleh : Ustadz Hasan Basri Tanjung MA)