Hampir bisa dipastikan, semua Muslim mengetahui atau setidaknya pernah mendengar kisah teladan seorang budak hitam, tapi terhormat di mata Rasulullah SAW. Dialah Bilal bin Rabah, seorang sahabat dari dataran Etiopia (Habsyi).
Bilal pernah mengalami beratnya penyiksaan dan penindasan yang dilakukan Umayyah bin Khalaf, salah seorang pemuka kafir Quraisy. Fathi Fawzi Abd al-Mu’thi dalam Qashash Islamiyah fi Ashabiha Ayat Qur’aniyyah menceritakan, Bilal dipanggang di bawah terik matahari dengan tangan dan kaki terikat. Tak puas dengan kekejian itu, Umayyah bin Khalaf mengikat tubuh Bilal.
Bilal kemudian dijemur di atas hamparan pasir panas dan dadanya ditindih batu besar. Dalam rasa sakit yang luar biasa itu, Bilal tetap kukuh mempertahankan keyakinan dan keimanannya. Ia menahan pedihnya siksaan itu dan lisannya terus melafalkan, “Ahad…. Ahad… .”
Penderitaan yang sama juga dialami Ammar bin Yasir beserta ayah dan ibunya, Samiyyah. Ketiganya harus merasakan siksa pedih dan berat dari keluarga Bani Makhzum yang kafir.
Abu Jahal yang ikut menyiksa akhirnya memukul Samiyyah hingga meninggal dalam keadaan mempertahankan pengakuan keesaan Allah dan kerasulan Muhammad. Ayah Ammar juga ditikam belati oleh Abu Jahal karena tak mau mengingkari keimanannya kepada Allah.
Ammar bin Yasir yang dikubur hidup-hidup di tengah padang pasir panas justru tidak pernah melepaskan kata, “Allah…. Allah… .” Seakan, ia begitu terang memandang indah dan sejuknya surga.
Tidak kalah berat adalah siksaan yang harus diterima Khabbab bin al-Urti. Ia didera siksaan oleh majikannya, Ummu Anmar. Majikan perempuan kafir Quraisy itu tega menyeterika tubuh Khabbab dengan besi panas hingga kulit dan daging di punggungnya mengelupas.
Anmar menyuluti tubuh budaknya itu dengan api, sehingga banyak bagian tubuh Khabbab rontok. Namun, subhanallah, Khabbab tetap bersikukuh dalam keyakinannya kepada Allah. Lisannya tidak mau menghina dan mengingkari keesaan Allah dan kerasulan Muhammad.
Belum lagi, Rasulullah SAW yang harus menerima berbagai macam siksaan dan cobaan demi tegaknya dua kalimat syahadat di atas bumi Allah ini. Mulai dari dilempari kotoran manusia, hingga harus menerima lemparan batu berdarah-darah.
Mengucapkan syahadat atau dua kalimat syahadat merupakan syarat bagi orang yang hendak menjadi Muslim. Kalimat syahadat memang sangat sederhana. “Aku bersaksi tidak ada tuhan (ilah) selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah .”
Namun, kesahajaannya mampu menggoncang dan memecah belah fanatisme kesukuan masyarakat Arab saat itu. Para bangsawan Arab marah dan merasa dihinakan kehormatannya setelah Muhammad mendakwahkan kalimat syahadat ini.
Sebaliknya, dengan syahadat itu, para budak dan orang-orang lemah-tertindas merasa memperoleh pencerahan hidup dan optimisme. Sebab, tauhid dan syahadat memancarkan nilai-nilai egalitarianisme dan humanisme sejati.
Syahadat merupakan sebuah pembebasan dan jalan kemerdekaan yang mampu membangkitkan semangat hidup dan keputusan revolusioner orang-orang tertindas. Syahadat juga sebuah perjanjian dan kontrak hidup antara manusia dan Allah.
Dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, berarti seseorang menyadari sepenuhnya hidup dan kehidupan ini adalah ciptaan dan milik Allah. Hidup dan matinya seorang Muslim hanya untuk memperoleh ridha Allah.
Dengan demikian, kata Komaruddin Hidayat, bersyahadat berarti keyakinan untuk memutuskan semua bentuk penghambaan selain Allah SWT. Mengingat begitu dahsyatnya syahadat, umat Islam pun diwajibkan melafazkannya setidaknya sembilan kali setiap hari semalam dalam shalatnya. Ini penting karena hati, pikiran, dan perilaku perlu pengarahan, pembaharuan, dan penyegaran komitmen.
Di sinilah syahadat berfungsi sebagai penyangga seluruh bangunan di atasnya, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Mengingat begitu dahsyatnya syahadat, bisa dimaklumi jika umat Islam tersinggung oleh mereka yang suka bermain-main dengan syahadat.
Di antara mereka, ada yang mengucapkannya hanya untuk menikahi seorang perempuan lalu “meludahkannya” kembali. Seakan, hal ihwal keimanan adalah sebuah permainan yang tidak berpengaruh dalam kehidupan seorang Muslim. Semoga, Islam tetap menjadi agama ya’lu wala yu’la alaih. Aamiin.
Wallahu a’lam.
(Oleh: Bahrus Surur)