Tidak terasa, sudah sepekan kita menjalankan ibadah puasa. Bukan
tanpa godaan kita berpuasa di jaman modern saat ini. Berpuasa di jaman
modern bukan sekadar menahan rasa lapar dan haus di siang hari.
Sebab,
bagi sebagian besar godaan menahan rasa lapar dan haus di siang hari
bukan termasuk dalam katagori ‘godaan jenis berat’ yang bisa membatalkan
ibadah puasa. Namun tanpa kita sadari godaan terasa lebih dasyat adalah
serangan budaya konsumerisme.
Menurut sejumlah cendekiawan,
maraknya godaan budaya konsumerisme ini tidak terlepas dari perkembangan
budaya kapitalisme yang menempatkan konsumsi sebagai titik sentral
kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat. Masyarakat seakan-akan
berlomba untuk menjadi manusia konsumtif, seperti berbuka puasa dengan
hidangan yang berlimpah.
Perilaku ini tidak terlepas dari media
massa. Iklan-iklan televisi, radio, media cetak termasuk iklan outdoor
seakan-akan menghipnotis umat Islam untuk masuk dan menjadi manusia
konsumtif.
Tidak percaya, coba nyalakan televisi, dipastikan kita
akan melihat tayangan-tayangan iklan berbalut agama. Sebuah produk yang
diproduksi dan ditawarkan spesial menyambut bulan suci Ramadhan, mulai
sandang, pangan, hingga kartu telepon seluler sekalipun, termasuk
hiburan seperti sinetron, musik, humor, dan ceramah pun sudah mulai
tayang atas nama bulan suci Ramadhan. Kemudian muncullah istilah
sinetron religi atau album religi para penyanyi maupun grup band yang
selalu ditunggu para penggemarnya.
Melalui iklan di media
elektronik berbagai komoditas yang diproduksi dengan sensibilitas
keagamaan dilempar ke pasar. Tentu saja selama bulan puasa produk yang
dibuat sudah dibalut dengan nuansa bulan suci Ramadhan.
Dan yang
tidak kalah penting, sadar maupun tidak sadar, sesungguhnya di situlah
terjadi proses penanaman semacam pembenaran atau ‘Islamisasi’ atas
perilaku konsumtif umat Islam selama bulan puasa.
Tanpa kita
sadari, umat Islam pada setiap Ramadhan tiba selalu diposisikan sebagai
konsumen potensial untuk meraup keuntungan bisnis. Perkembangan
kapitalisme global membuat, bahkan memaksa umat Islam pada suatu kondisi
dimana seolah-olah ‘hasrat’ mengkonsumsi lebih diutamakan. Sepertinya
ibadah puasa nantinya kurang sempurna jika tidak mengkonsumsi makanan
serta minuman tertentu atau segala yang disodorkan oleh media dan iklan
dengan mengatasnamakan agama.
Nafsu manusia memang seperti air.
Tidak pernah terhenti untuk selalu mengalir. Namun bukan berarti kita
tidak bisa menahannya. Ada baiknya kita mendengarkan kisah Khalifah Umar
bin Khathab. Suatu ketika Umar pernah menghukum Amru bin Ash, sang
gubernur Mesir kala itu yang berbuat semena-mena terhadap seorang
rakyatnya yang miskin.
Seorang gubernur yang bertugas di Hamash,
Abdullah bin Qathin pernah dilucuti pakaiannya oleh Umar. Sang khalifah
menyuruh menggantinya dengan baju gembala. Bukan itu saja, si gubernur
diminta menjadi penggembala domba sebenarnya untuk beberapa saat. Hal
itu dilakukan Umar karena sang gubernur membangun rumah mewah buat
dirinya.
“Aku tidak pernah menyuruhmu membangun rumah mewah!” ucap Umar begitu tegas.
Esensi
puasa Ramadhan juga memberikan nilai ajaran agar orang yang beriman dan
bertakwa mengikuti tuntunan Nabi saw yang hidupnya sangat sederhana.
Dalam sebuah hadist, Rasulullah juga bersabda, “Berhentilah kamu makan
sebelum kenyang.”
Di bagian lain Nabi saw mencontohkan, “berbuka
puasalah kamu dengan tiga butir kurma dan seteguk air minum setelah itu
bersegeralah salat magrib.” Itu artinya, puasa Ramadhan bukan sekadar
menahan rasa lapar dan haus tetapi juga menahan nafsu dan keinginan
hedonistis. Karena itu, semoga di bulan Ramadhan ini, kita bisa
mengambil hikmah untuk bisa menjalankan hidup sederhana. Aamiin.
(Oleh :
Dr HM Harry M Zein)
Title : Puasa dan Gerakan Mengikis Budaya Konsumtif
Description : Tidak terasa, sudah sepekan kita menjalankan ibadah puasa. Bukan tanpa godaan kita berpuasa di jaman modern saat ini. Berpuasa di jama...