Awal malapetaka dan kehancuran seseorang terjadi ketika penyakit sombong
dan merasa diri paling benar bersemayam dalam hatinya. Inilah sifat
yang melekat pada iblis. Sifat inilah yang berusaha ditransfer iblis
kepada manusia yang bersedia menjadi sekutunya.
Sifat ini ditandai dengan ketidaksiapan untuk menerima kebenaran yang
datang dari pihak lain; keengganan melakukan introspeksi (muhasabah);
serta sibuk melihat aib dan kesalahan orang lain tanpa mau melihat aib
dan kekurangan diri sendiri.
Padahal, kebaikan hanya bisa terwujud manakala seseorang bersikap rendah
hati (tawadu); mau menyadari dan mengakui kekurangan diri; melakukan
introspeksi; serta siap menerima kebenaran dari siapa pun dan dari mana
pun. Sikap seperti ini sebagaimana dicontohkan oleh orang-orang mulia
dari para nabi dan rasul.
Nabi Adam AS dan Siti Hawa saat melakukan kesalahan dengan melanggar
larangan Tuhan, alih-alih sibuk menyalahkan iblis yang telah menggoda
dan memberikan janji dusta, mereka malah langsung bersimpuh mengakui
segala kealpaan seraya berkata, "Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya
diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni dan memberi rahmat
kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi." (QS
Al-A'raf [7]: 23).
Demikian pula dengan Nabi Yunus AS saat berada dalam gelapnya perut ikan
di tengah lautan. Ia tidak menyalahkan siapa pun, kecuali dirinya
sendiri, seraya terus bertasbih menyucikan Tuhan-Nya. Ia berkata, "Tidak
ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau. Sesunguhnya, aku termasuk
orang-orang yang zalim." (QS Al-Anbiya [21]: 87).
Bahkan, Nabi Muhammad SAW selalu membaca istigfar dan meminta ampunan
kepada Allah SWT sebagai bentuk kesadaran yang paling tinggi bahwa tidak
ada manusia yang sempurna. Karena itu, ia harus selalu melakukan
introspeksi. Beliau bersabda, "Wahai, manusia, bertobatlah dan mintalah
ampunan kepada-Nya. Sebab, aku bertobat sehari semalam sebanyak seratus
kali." (HR Muslim).
Begitulah sikap arif para nabi yang patut dijadikan teladan. Mereka
tidak merasa diri mereka sudah sempurna, bersih, dan suci. Allah SWT
berfirman, "Janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling
mengetahui orang yang bertakwa." (QS Annajm [53]: 32).
Karena itu, daripada mengarahkan telunjuk kepada orang, lebih baik
mengarahkan telunjuk kepada diri sendiri. Daripada sibuk melihat aib
orang, alangkah bijaknya kalau kita sibuk melihat aib sendiri. Dalam
Musnad Anas ibn Malik RA, Nabi SAW bersabda, "Beruntunglah orang yang
sibuk melihat aib dirinya sehingga tidak sibuk dengan aib orang lain."
(Oleh :
Fauzi Bahreisy)
Title : Mengakui Kekuranga Diri Sendiri
Description : Awal malapetaka dan kehancuran seseorang terjadi ketika penyakit sombong dan merasa diri paling benar bersemayam dalam hatinya. Inilah...