Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Al Quran adalah sebuah kitab kebenaran. Rasulullah SAW melalui risalah kenabiannya, diutus mendakwahkan kebenaran itu kepada manusia seluruhnya. Sepeninggal Rasul, para ulama mewarisi risalah itu. Namun, dalam realitas dakwah selalu saja terdapat orang-orang yang sulit diajak menerima kebenaran. Bahkan, tidak jarang yang kemudian melakukan perlawanan.
Dalam sunnatullah, dialektika antara kebenaran dan kebatilan akan selalu terjadi di panggung sejarah kehidupan manusia. Pasang surut perseteruan keduanya adalah hal lumrah. Terhadap kenyataan ini, manusia diberi dua pilihan: tunduk atau membangkang, iman atau kafir, syukur atau kufur.
Setiap jalan memiliki konsekuensinya sendiri. ”Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS Al-Insan [76]: 3).
Firman Allah lainnya, ”Dan katakanlah, ‘Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir.’ Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka.” (QS Al kahfi [18]: 29).
Jadi, setiap Mukmin harus punya ketegasan sikap, tidak boleh ragu, dan bermuka dua. Keraguan berpotensi memunculkan kemunafikan, suatu sikap menduakan kebenaran yang amat ditentang agama.
”Amat besar dosanya di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya.” (QS As-Shaff [61]: 3).
Secara psikologis pun kemunafikan membuat orang tidak tenteram, karena sikapnya itu akan selalu bertentangan dengan kata hati nuraninya sendiri (QS Al-Baqarah [2]: 8-20). Ada pepatah mengatakan: kamu bisa membohongi orang lain selamanya, tetapi tidak pada diri sendiri. Jadi, orang munafik itu sebetulnya hatinya selalu tertekan.
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri pula bahwa perubahan zaman seringkali mengaburkan nilai-nilai kebenaran. Pada saat yang sama etos furqan, yaitu etos membedakan antara kebenaran dan kebatilan, menjadi melemah. Allah menegaskan dalam firman- Nya, ”Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu. Sebab itu, jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS Al-Baqarah [2]: 147).
Seorang Mukmin harus teguh dan konsisten mengimani kebenaran Islam. Dengan kata lain, ia harus senantiasa memegang kebenaran itu, melakukannya, dan mendakwahkannya kepada seluruh manusia, betapa pun risikonya. Rasul berpesan, ”Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah’, kemudian istiqamahlah dengan (perkataanmu) itu.” (HR Ahmad).
Wallahu a’lam.
(Oleh : Anang Rizka Masyhadi)