Bismillahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Lika liku hidup duniawi selalu diwarnai dengan segala hasrat, tak
terkecuali keinginan besar dalam mengumpulkan materi. Sebagian dari kita
mungkin menilai bahwa ukuran nilai kebahagiaan hanya timbul dari
melimpah-ruahnya materi yang kita miliki.
Sebagian lain menilai
bahwa kebahagiaan hakiki sejatinya ada di dalam hati, yakni ‘ketenangan’
dalam berbagi. Rasa saling berbagi inilah yang ditanamkan oleh
Rasulullah pada para sahabatnya sehingga mereka diberi kelapangan hati
untuk ikhlas berbagi.
Allah SWT berfirman, “Kalian sekali-kali
tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian
menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian
nafkahkan, sungguh, Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran: 92)
Dalam
firman-Nya yang lain, “Apa saja harta yang baik yang kalian infakkan,
niscaya kalian akan diberi pahalanya dengan cukup dan kalian sedikit pun
tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS al-Baqarah: 272)
Dua surah
di atas mengisyaratkan sebuah anjuran untuk berbagi apa saja yang kita
miliki, bahkan sesuatu yang kita cintai sekalipun. Memberikan sesuatu
yang teramat kita sukai memang bukanlah perkara yang mudah. Namun, ada
pahala yang besar dari-Nya sebagai bukti keimanan seorang hamba
pada-Nya.
Adalah kisah Umar bin Khattab RA, seperti hadis yang
diriwayatkan oleh putranya, Ibnu Umar. “Sesungguhnya Umar RA pernah
mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Lalu beliau mendatangi Nabi SAW
dan meminta nasihat mengenai tanah itu, seraya berkata, “Ya Rasulullah,
saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang saya tidak pernah
mendapatkan harta lebih baik daripada tanah itu.”
Nabi SAW pun bersabda, “Jika Engkau berkenan, tahanlah batang pohonnya, dan bersedekahlah dengan buahnya.”
Ibnu
Umar berkata, ‘Maka bersedekahlah Umar dengan buahnya dan batang pohon
itu tidak dijual, dihadiahkan, diwariskan, dan Umar bersedekah dengannya
kepada orang-orang fakir, para kerabat, para budak, orang-orang yang
berjuang di jalan Allah, Ibnu Sabil, dan para tamu. Pengurusnya boleh
memakan dari hasilnya dengan cara yang makruf dan memberikannya kepada
temannya tanpa meminta harganya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadis
di atas, seperti uraian yang ditulis oleh Ibnu Hajar Atsqalani, bahwa
Umar bin Khattablah sahabat pertama kali yang mempraktikkan shadaqah
jariyah, atau lebih kita kenal dengan wakaf.
Ketika menjelaskan
hadis di atas, Imam Ibnu Hajar menuturkan sebuah riwayat dari Imam Ahmad
bahwasannya Ibnu Umar berkata, “Wakaf pertama kali di dalam Islam
adalah sedekahnya (wakafnya) Umar.”
Secara tersirat, Umar terasa
berat mengikhlaskan sesuatu yang ia katakan bahwa ‘tidak pernah aku
dapatkan harta yang lebih baik kecuali tanah itu’, menyadarkan kita
betapa pengorbanan seorang hamba dalam meraih keimanan dan kebajikan
yang sempurna, menepis rasa ego dalam hati untuk ikhlas berbagi.
Inilah esensi dari roda perekonomian Islam; tidak membiarkan harta si
kaya hanya beredar di orang kaya saja, tapi anjuran penuh untuk
bersedia peduli dan mau berbagi.
Melalui zakat (yang sifatnya
wajib dikeluarkan), kemudian wakaf yang sifatnya sunnah tapi pahala yang
terus mengalir selama harta tersebut digunakan untuk kebaikan,
menyadarkan bahwa ajaran Islam sungguh menentramkan. Keduanya, zakat
maupun wakaf adalah warisan dan unsur-unsur pembangun peradaban yang
siapapun mempraktikkannya akan mendapat ganjaran.
Islam tidak
memperkenankan adanya seorang hamba yang hidup serba mewah berkecukupan,
namun tidak peduli dengan saudara-saudara yang kekurangan. Dalam
prinsip bekal nan kekal inilah, Islam menghendaki adanya tingkat
kesejaheraan sosial baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, dan negara.
Semoga!
Wallahu a’lam.
(Oleh : Ina S Febriany)